Mohon tunggu...
Sevilla Nouval Evanda
Sevilla Nouval Evanda Mohon Tunggu... Mahasiswa - Student of Journalism

Halo, aku suka menulis.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Taklukkan Mimpi Lewat Privilese vs Lewat Segalanya

15 Juni 2022   17:25 Diperbarui: 15 Juni 2022   18:06 441
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Manusia, khususnya anak muda, tak jarang terperangkap dalam pandangan terkait privilege atau privilese. Memandang kesuksesan seseorang tak lagi sebatas dengan rupa takjub atau turut senang, mengekor pula kecurigaan dan tekad untuk mengorek masa lalu atau hak-hak tertentu yang dimiliki seseorang hingga dapat meraih mimpinya.

Pengetahuan dan salah kaprah tentang privilese saat ini juga mempengaruhi kepercayaan dan kemauan diri banyak dari pejuang mimpi. Hal tersebut digantikan dengan rasa rendah diri dan keyakinan bahwa mereka tak akan sepenuhnya berhasil dan akan mengalami berbagai hambatan yang tak dapat diselesaikan jika tak memiliki hak istimewa tertentu.

Privilege sendiri diartikan Hive Learning sebagai keistimewaan adanya manfaat yang dimiliki seseorang karena kecocokan mereka dengan kelompok sosial tertentu. Ini juga bisa berarti bahwa seseorang ini memiliki dimensi tertentu pada identitas mereka sehingga diperlakukan atau mendapatkan hal-hal tertentu yang lebih spesial atau dengan cara eksklusif tertentu.

Tak cuma itu, hak istimewa ini pada dasarnya dibagi menjadi beberapa kategori. Media Smarts menyebut ada sembilan bentuk privilese: ability (kemampuan), class (kelas), education (pendidikan), gender, gender identity (identitas gender), passing (mampu diterima suatu kelompok), racial (ras), religious (keyakinan), dan sexuality (orientasi seksual). Meski seluruhnya punya dampak terhadap karier dan masa depan seseorang, terdapat beberapa yang paling berkaitan dengan perihal pencapaian mimpi, khususnya di Indonesia, yakni ability, class, dan education.

3 Previlese yang Sering Diandalkan

Bentuk privilese yang dapat sangat mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap suatu individu adalah ability atau kemampuan seseorang terkait kesehatan fisik atau mental. Misalnya, penyandang disabilitas sering kali dilewatkan untuk peran aktif tertentu. Media Smart bahkan berasumsi bahwa sebagai contoh, aktor dengan kemampuan luar biasa dapat mendapatkan peran penyandang disabilitas, sedangkan penyandang itu sendiri jarang mendapat peran sama sekali.

Melangkah pada class alias kelas, ini dapat berlaku dalam dua segi, yakni status ekonomi atau kelas sosial. Status ekonomi pun merupakan jenis privilese yang banyak dilihat oleh masyarakat kita karena memberikan begitu banyak bukti keistimewaan tertentu dalam kemudahan menjalani hidup. Misalnya, partisipasi dalam politik, mencapai pendidikan tertentu, bahkan hingga posisi atau jabatan tertentu dalam pekerjaan. 

Lantas, dengan kelas ini pula education atau pendidikan seseorang terpengaruh. Tak berujung di sana, jenjang pendidikan tertentu juga memberikan privilese menuju karier bergaji tinggi atau mimpi yang diincar seseorang sejak awal. Bahkan, hanya berdasarkan suatu jenjang atau institusi pendidikan, seseorang dapat dinilai lebih kredibel dari pada yang lain.

Di lain sisi, Ketua Bimbel (bimbingan belajar) Mengejar UI (Universitas Indonesia) periode 2020/2021, Rafi Damalis Rosadi, menyebut terdapat tiga bentuk privilese yang juga dianggap berpengaruh besar dalam mengejar mimpi. Masih cukup bersinggungan dengan ability, class, dan education, ketiga privilese ini adalah privilese sosial, privilese ekonomi, dan privilese kecerdasan.

Menurut Rafi, privilese sosial yang juga disebutnya "modal sosial" adalah tentang cara suatu individu menyesuaikan diri dan mendapatkan relasi sesuai dengan lingkungan sosialnya. Sementara itu, privilese ekonomi disebutnya berkaitan dengan kekayaan.  "Dia bisa beli apa pun, dia bisa bayar apa pun, dia bisa 'menguangkan apa pun' jika ada jalur belakang," tuturnya dalam wawancara daring pada Minggu (29/5).

Previlese ekonomi: bisa beli, bayar, dan menguangkan apa pun.

Sementara itu, privilese kecerdasan, menurutnya, adalah bentuk keistimewaan dalam kemampuan akademik. 

Dari ketiga jenis privilese tersebut, Rafi menganggap modal sosial sebagai yang terpenting. Alasannya, privilese ekonomi saja dinilainya terlalu sempit untuk meraih mimpi. "Jadi, dia harus punya hubungan interaksi dengan masyarakat sosial yang baik." 

Sebagai informasi, Bimbingan Belajar (Bimbel) Mengejar UI yang sempat dikepalai Rafi sendiri merupakan salah satu program ILUNI FEB UI yang dikoordinir oleh Direktorat Giving Back, yaitu program pemberian bimbingan belajar bagi siswa/siswi SMAN/SMK/Madrasah Aliyah kelas XII yang kurang mampu secara finansial dalam mempersiapkanan mengikuti ujian masuk SBMPTN. Kelas Bimbel ini diadakan setiap tahun oleh ILUNI FEB UI dengan tidak dikenakan biaya bagi peserta yang terpilih.

Bicara tentang privilese ekonomi, kita sering pula menganggap hebat orang-orang dengan latar belakang kurang mampu yang pada akhirnya bisa meraih mimpi mereka. Sebab, pandangan jalan masa depan yang mulus sering kali tak terlepas dari kemampuan finansial seseorang. Lagipula, terlalu banyak bukti bahwa mereka yang memiliki banyak privilese kelas tinggi berakhir sukses melanjutkan status terhormat secara turun temurun.

Namun, benarkah pola pikir demikian selalu manjur mencap keberhasilan individu tertentu soal meraih mimpi dalam hidup mereka?

Riset dari Gwendolyn Mawson dkk. Dari University of Pennsylvania mengungkap bahwa faktor ekonomi sebuah keluarga sangat berpengaruh sebagai fungsi eksekutif dalam menentukan kesuksesan seseorang. Riset berupa meta-analisis 25 paper ini menemukan adanya hubungan fungsi eksekutif dan status sosial atau ekonomi (SES) dan pentingnya dalam kemampuan belajar anak.

Fungsi eksekutif atau EF sendiri mengacu pada proses kognitif yang mengatur perilaku anak untuk membentuk ambisi dan motivasi hidup. Hal ini mencakup akses ke pendidikan yang baik, kondisi di lingkungan tempat tinggal, pola asuh, hingga penggunaan bahasa. 

Status sosial-ekonomi keluarga pun, memang, disebut sangat berpengaruh terhadap hal-hal tersebut. Sebab, faktor-faktor itu dinilai berlaku lebih baik pada keluarga mampu dibandingkan tidak mampu. Inilah penyebab anak dari keluarga dengan kelas sosial tinggi lebih punya potensi prestasi dari pada anak dengan kelas sosial rendah.

Meski begitu, Rafi berpendapat bahwa privilese bukanlah segalanya. "Privilese itu penting, tapi bukan segalanya," ungkapnya. Pendapatnya ini didasari oleh pengalamannya dalam menggarap jabatan sebagai ketua dalam kegiatan Bimbel Mengejar UI yang diperuntukkan untuk calon mahasiswa kurang mampu. 

Privilese itu penting, tapi bukan segalanya.

Pasalnya, mengingat kondisi pandemi yang mengharuskan segala kegiatan berlalu secara digital, banyak peserta yang terganggu dalam kegiatan belajar karena minimnya baterai, kuota, atau sinyal. Inilah faktor yang kembali membedakan terkait adanya privilese kelas sosial atau ekonomi. "Kelihatan banget ada kendala di device mereka. Ini bukan masalah pengetahuan tentang teknologi, ya. Soalnya mereka juga pintar-pintar, pakai Zoom ngerti, pakai Google Meet bisa," katanya. Namun, meski kekurangan sumber daya dari segi finansial dan akses ke perangkat digital, tak sedikit dari mereka yang akhirnya lolos ke kampus impian lewat kemampuan sosial dan akademik.

Ini tentunya menjadi motivasi yang cukup realistis untuk terus berjuang mencari cara menggapai mimpi meskipun sering kali tak memiliki privilese ekonomi, terutama dari orang tua atau wali. Sebab, meraih mimpi dalam kehidupan tak hanya tentang privilese kecukupan finansial, melainkan juga kemampuan bersosialisasi dan tekad berjuang yang baik. 

Kini, kita telah paham bahwa status sosial dan ekonomi akan sangat mempengaruhi motivasi dalam hidup. Sebagai langkah perjuangan, Rafi menyebut, tetap mengusahakan salah satu dari dua privilese adalah cara yang dapat diambil. Meskipun bernamakan privilese, modal sosial dan kecukupan finansial pada nyatanya adalah dua hal yang dapat kita usahakan. 

pexels-brett-sayles-4734936-62a9b1bdbb448631271f9652.jpg
pexels-brett-sayles-4734936-62a9b1bdbb448631271f9652.jpg

Ilustrasi: Pexels/Brett Sayles 

"Saya pun termasuk yang struggle (berjuang), deh, di luar dua hal itu ... Saya gak begitu punya status sosial yang tinggi, gak punya ekonomi yang tinggi juga. Saya mencoba meraih privilese dengan cara lain. Menurut saya, tetap bisa dapat, kok," sebutnya. 

Hal ini berkaitan dengan mengusahakan kewajiban yang telah menjadi tanggungan kita. Beberapa contoh yang bisa dipraktikkan adalah mengerjakan tugas dengan rajin dan teratur meski masih banyak salah, banyak berinteraksi dengan individu lain, menjalin hubungan yang baik dengan guru, kakak kelas, atau mentor, mengikuti les berbayar atau workshop tertentu, hingga memanfaatkan teknologi yang tepat untuk membantu menyelesaikan tugas.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun