Sementara itu, privilese kecerdasan, menurutnya, adalah bentuk keistimewaan dalam kemampuan akademik.Â
Dari ketiga jenis privilese tersebut, Rafi menganggap modal sosial sebagai yang terpenting. Alasannya, privilese ekonomi saja dinilainya terlalu sempit untuk meraih mimpi. "Jadi, dia harus punya hubungan interaksi dengan masyarakat sosial yang baik."Â
Sebagai informasi, Bimbingan Belajar (Bimbel) Mengejar UI yang sempat dikepalai Rafi sendiri merupakan salah satu program ILUNI FEB UI yang dikoordinir oleh Direktorat Giving Back, yaitu program pemberian bimbingan belajar bagi siswa/siswi SMAN/SMK/Madrasah Aliyah kelas XII yang kurang mampu secara finansial dalam mempersiapkanan mengikuti ujian masuk SBMPTN. Kelas Bimbel ini diadakan setiap tahun oleh ILUNI FEB UI dengan tidak dikenakan biaya bagi peserta yang terpilih.
Bicara tentang privilese ekonomi, kita sering pula menganggap hebat orang-orang dengan latar belakang kurang mampu yang pada akhirnya bisa meraih mimpi mereka. Sebab, pandangan jalan masa depan yang mulus sering kali tak terlepas dari kemampuan finansial seseorang. Lagipula, terlalu banyak bukti bahwa mereka yang memiliki banyak privilese kelas tinggi berakhir sukses melanjutkan status terhormat secara turun temurun.
Namun, benarkah pola pikir demikian selalu manjur mencap keberhasilan individu tertentu soal meraih mimpi dalam hidup mereka?
Riset dari Gwendolyn Mawson dkk. Dari University of Pennsylvania mengungkap bahwa faktor ekonomi sebuah keluarga sangat berpengaruh sebagai fungsi eksekutif dalam menentukan kesuksesan seseorang. Riset berupa meta-analisis 25 paper ini menemukan adanya hubungan fungsi eksekutif dan status sosial atau ekonomi (SES) dan pentingnya dalam kemampuan belajar anak.
Fungsi eksekutif atau EF sendiri mengacu pada proses kognitif yang mengatur perilaku anak untuk membentuk ambisi dan motivasi hidup. Hal ini mencakup akses ke pendidikan yang baik, kondisi di lingkungan tempat tinggal, pola asuh, hingga penggunaan bahasa.Â
Status sosial-ekonomi keluarga pun, memang, disebut sangat berpengaruh terhadap hal-hal tersebut. Sebab, faktor-faktor itu dinilai berlaku lebih baik pada keluarga mampu dibandingkan tidak mampu. Inilah penyebab anak dari keluarga dengan kelas sosial tinggi lebih punya potensi prestasi dari pada anak dengan kelas sosial rendah.
Meski begitu, Rafi berpendapat bahwa privilese bukanlah segalanya. "Privilese itu penting, tapi bukan segalanya," ungkapnya. Pendapatnya ini didasari oleh pengalamannya dalam menggarap jabatan sebagai ketua dalam kegiatan Bimbel Mengejar UI yang diperuntukkan untuk calon mahasiswa kurang mampu.Â
Privilese itu penting, tapi bukan segalanya.
Pasalnya, mengingat kondisi pandemi yang mengharuskan segala kegiatan berlalu secara digital, banyak peserta yang terganggu dalam kegiatan belajar karena minimnya baterai, kuota, atau sinyal. Inilah faktor yang kembali membedakan terkait adanya privilese kelas sosial atau ekonomi. "Kelihatan banget ada kendala di device mereka. Ini bukan masalah pengetahuan tentang teknologi, ya. Soalnya mereka juga pintar-pintar, pakai Zoom ngerti, pakai Google Meet bisa," katanya. Namun, meski kekurangan sumber daya dari segi finansial dan akses ke perangkat digital, tak sedikit dari mereka yang akhirnya lolos ke kampus impian lewat kemampuan sosial dan akademik.