Sejak awal kehidupan, kebahagiaan memang selalu penting dan dibutuhkan umat manusia. Meski begitu, baru dalam beberapa dekade terakhir ini para pembuat kebijakan dan peneliti mulai tertarik dengan peran kebahagian dalam kelangsungan hidup suatu negara.Â
Terlebih, situasi setahun terakhir banyak menyebabkan keprihatinan, baik secara ekonomi maupun psikologis penduduk dunia.
Minat masyarakat dunia terhadap kebahagiaan dulunya meningkat diakari Kerajaan Bhutan, sebuah negara pegunungan kecil di Asia Selatan dengan populasi kurang dari satu juta orang.
Hingga 1970-an, ekonomi kecil-kecilan yang ditumpu pada kehutanan, pertanian, dan ditambah pengukuran Produk Domestik Bruto (PDB) minim, masih menjadi ciri khas negara kecil itu.Â
Sampai akhirnya, Jigme Singye Wangchuck, raja baru Bhutan, memutuskan bahwa "Kebahagiaan Nasional Bruto" akan mengukur kemajuan nasional mulai 1972.
Keputusan ini tentu menarik perhatian seluruh dunia. Mengapa negara kecil di pegunungan itu menggunakan kebahagiaan alih-alih nilai kredibel PDB sebagai elemen kunci perencanaan ekonomi dan sosial negeri?
Meski begitu, bukannya pertanyaan negatif yang bermunculan, justru dukungan internasional yang mengalir deras terhadap kebijakan baru Bhutan. Sebab, keputusan ini berarti lebih menekankan kebahagiaan, kesejahteraan, dan kepuasan hidup ketika merencanakan kebijakan publik.
Sejak saat itu, empat pilar "tata pemerintahan yang baik", "pembangunan sosial ekonomi yang stabil dan merata", "perlindungan lingkungan", dan "pelestarian budaya" menjadi penopang utama Kebahagiaan Nasional Bruto.
Perlahan-lahan, mulai dari Bhutan, seluruh dunia secara halus menerapkan kebahagiaan, kesejahteraan, dan kepuasan hidup dalam mengelola negara mereka.Â
Ini adalah langkah positif yang masuk akal: orang menghargai kebahagiaan di atas sebagian besar hal lain dalam hidup, termasuk kekayaan. Kebahagiaan penting bagi semua orang dan ini harus dipandang oleh pemerintah.