Begitulah cerita singkat pengalaman saya yang pernah menjadi korban gosip dari fakta-fakta yang ditambah-tambahi dan dipelintir kebenaran menyeluruhnya. Sampai-sampai kamar saya dibilang seperti tempat sampah. Lalu, perpustakaan, ruang arsip pengadilan, meja kerja detektif dan jaksa yang penuh dengan kertas dan buku yang bertebaran mau disebut sampah juga? Lebih lucu lagi ketika saya yang dijelek-jelekan oleh si anak bermulut lames ini saya bantu dia dalam pengerjaan tugas-tugas kuliahnya.Â
Bahkan saya membantu memecahkan masalah untuk pengerjaan tugas-tugasnya. Bukan sok pintar, tapi apakah wajar kita menjelek-jelekan orang yang sering membantu kita. Bila menjelek-jelekan saya sesuai dengan fakta betapa jeleknya diri saya, saya masih bisa menerima. Tapi dengan penyimpangan informasi tersebut, apakah baik? Saya terbelalak dengan hal itu.
Gosip itu hal sederhana yang lumrah kita dengar atau bahkan lakukan. Meski demikian, gosip itu sangat berbahaya. Akan ada informasi yang hilang. Akan ada informasi yang tidak ada dibuat menjadi ada. Ada informasi yang lurus jadi zig-zag.
Dari kejadian itu, saya memutuskan untuk memutuskan hubungan pertemanan saya dengan si anak bermulut lames ini secara pelan-pelan, sampai akhirnya total tak berkabar hingga saat ini. Tentu keputusan saya bukan hanya karena kejadian tunggal itu saja. Sejak dulu memang saya sering dibuat harus bersabar dengan anak satu itu. Bagaimana tabiat buruknya coba saya hadapi dengan sabar. Tapi saya harus peduli dengan keadaan saya juga. Saya mau membersihkan diri saya dari lingkungan yang toxic.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H