Setiap orang diciptakan unik dan berharga. Itulah yang telah diajarkan kepada kita sejak usia belia.
Setiap orang memiliki identitasnya masing-masing. Identitas seseorang bukan hanya sekedar data-data formal seperti nama, jenis kelamin, tanggal lahir dan semacamnya. Identitas lebih kuas dari sekedar data-data itu.
Identitas dapat ditemui dari bahasa, gaya bicara, gaya berjalan, dan masih banyak lagi yang sifatnya dinamis. Identitas seseorang pun dapat termuat dalam tulisan dan gaya bahasa tulisnya.
Hirarki identitas dalam naskah dapat digambarkan secara sederhana. Hal ini dapat dipahami dengan sistem piramida terbalik. Paling atas adalah ranah, apakah itu akademik ataukah non akademik. Lapisan tengah adalah genre tulisan, apakah itu opini, feature, kuliner, travel, dan sebagainya. Lapisan paling bawah sekaligus yang paling kerucut adalah gaya penulisan itu sendiri.
Semakin ke bawah akan semakin kuat memuat personalitas seorang penulis naskah. Dapat dilihat apakah ia seorang yang kaku ataukah lugas. Apakah ia kritis ataukah humoris.
Maka, dengan memaksakan seorang penulis untuk mengikuti tatanan baku yang harus seragam semua, maka identitas, keunikan, ciri khas seseorang juga telah diserang. Memandang tulisan yang berbahasa santai sebagai ancaman terhadap bahasa akan memperlihatkan bagaimana selama ini telah abai pada fakta historis.
Kebudayaan akan menemukan titik kepunahannya. Paling tidak, kebudayaan akan mengalami perubahan yang cukup besar. Tanpa disadari inilah hukum waktu sosial yang berlaku dan abadi. Sama halnya dengan bahasa, beberapa kata dan ekspresi telah hilang tanpa ada yang mengetahui, digantikan dengan bahasa dari generasi yang baru. Namun karena setiap generasi saling terikat, maka perubahan dan kepunahan terjadi secara perlahan dan tak disadari.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI