Mohon tunggu...
Setyo Widodo (Benjamin der Hurlst)
Setyo Widodo (Benjamin der Hurlst) Mohon Tunggu... -

Sempat ingin jadi penulis. Berikut blog saya yang gagal: quasidecencial.blogspot.com Teman dekat Benjamin der Hurlst.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mahasiswa, Demo, dan Listrik.

12 Januari 2017   22:09 Diperbarui: 13 Januari 2017   07:13 726
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya sangat berterimakasih kepada teman-teman mahasiswa yang tergabung dalam Aksi Bela Rakyat 121 hari ini. Karena, apa yang telah mereka kerjakan hari ini adalah cerminan bahwa kita sebagai mahasiswa masih membuka mata terhadap apa yang sedang terjadi di negara ini. Kita tidak bisa bohong, semakin hari mahasiswa dicap semakin apatis dan tidak mau tahu tentang apa yang sedang terjadi terhadap rakyat. Setidaknya, itulah yang saya banggakan dari aksi hari ini.

Tapi sayang, secara substansi, saya kurang setuju dengan apa yang dilakukan oleh teman-teman mahasiswa. Berikut adalah dua tuntutan yang saya soroti (dari total lima tuntutan yang disuarakan):

  • Menolak kenaikan tarif dasar listrik golongan 900 VA
  • Dikembalikannya penetapan mekanisme BBM kepada pemerintah dan menjamin terpenuhinya BBM bersubsidi seluruh SPBU

Kali ini saya bahas tuntutan yang pertama dulu, barangkali besok atau lusa saya akan bahas tuntutan kedua mengenai BBM.

Tuntutan 1: Menolak Kenaikan Tarif Dasar Listrik Golongan 900 Watt (dan menuntut dikembalikannya subsidi)

Kebijakan pemerintah untuk menaikan tarif dasar listrik golongan 900 VA dinilai kurang taktis dan cenderung kontra rakyat kecil. Namun, perlu diketahui bahwa harga listrik 900 VA yang diterapkan selama ini adalah harga subsidi, yaitu Rp 605/kWh. Sedangkan, harga “asli” listrik 900 VA adalah Rp 1352/kWh. Sehingga, apa yang dilakukan oleh pemerintah sebenarnya bukanlah menaikan harga listrik, tetapi mencabut subsidi yang selama ini diterapkan.

Pencabutan subsidi tersebut akan dilakukan secara bertahap. Tarif listrik 900 VA akan mengalami kenaikan dari Rp 605/kWh menjadi Rp 791/kWh per 1 Januari 2017, Rp 1.034/kWh mulai 1 Maret 2017, dan Rp 1.352/kWh per 1 Mei 2017. Lalu, mulai tanggal 1 Juli 2017, tarif tersebut akan disesuaikan secara otomatis setiap bulan sesuai dengan penggunaan pelanggan.

Menurut Direktur Utama Perusahaan Listrik Negara, pencabutan subsidi tidak diterapkan terhadap semua pelanggan listrik golongan rumah tangga 900 VA, dengan kata lain, sebagian pelanggan listrik golongan rumah tangga 900 VA akan tetap menerima subsidi. 

Lalu, apa yang menjadi alasan pemerintah untuk mencabut subsidi listrik tersebut? Berdasar Undang-Undang No. 30 Tahun 2007 tentang Energi dan UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, pelanggan listrik yang berhak mendapatkan subsidi adalah mereka yang tergolong dalam masyarakat miskin dan rentan miskin. Setelah dilakukan pendataan pada 22,9 juta pelanggan listrik 900 VA,  ditemukan bahwa tidak semuanya tergolong masyarakat yang berhak menerima subsidi. Akhirnya, pemerintah memutuskan untuk mencabut subsidi dari 18,8 juta pelanggan, menyisakan 4,1 juta pelanggan. Data ini akan (atau mungkin sudah, saya kurang tau heheheu..) diverifikasi oleh Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) dan juga PT PLN sendiri.

Dengan dicabutnya subsidi tersebut, tentu akan terjadi penghematan dana. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan menuturkan bahwa pemerintah menargetkan seluruh desa di Indonesia dapat menikmati listrik pada tahun 2019. Sedangkan, hingga sekarang masih terdapat 12.000 desa yang belum teraliri listrik. Hal inilah yang menjadi alasan utama pemerintah untuk mencabut subsidi listrik. Diharapkan dana yang didapat dari pencabutan subsidi tersebut dapat mendukung program pemerintah untuk “melistriki” 12.000 desa yang belum menikmati listrik.

Perlu diketahui pula bahwa anggaran untuk subsidi listrik pada tahun 2017 mengalami penurunan, dianggarkan 44,98 triliun dari APBN untuk subsidi listrik. Sedangkan, pada tahun 2016 lalu, anggaran untuk subsidi listrik sebesar 65,15 triliun. Oleh karena itu, menurut saya kebijakan pemerintah untuk mencabut subsidi listrik sudah tepat. Toh, pemerintah juga menegaskan, masyarakat yang tergolong miskin atau rentan miskin yang terkena pencabutan subsidi dapat mengajukan permohonan untuk mendapatkan subsidi kembali dengan mengisi formulir di kelurahan setempat atau kantor PLN terdekat.

Berangkat dari tuntutan pertama ini, saya lebih pro pemerintah dan kontra terhadap aksi yang dilakukan oleh mahasiswa. Tapi, bisa saja saya sekarang sedang tersesat. Kita juga harus ingat, September 2016 lalu, Indonesia masih memiliki hutang sebesar Rp 3.438 triliun yang harus dibayar. Apa kita mau utang tersebut terus membengkak??

“Untuk menjadi pro-rakyat, tidak sesederhana itu, tidak sesederhana berteriak TOLAK tiap kali terjadi kenaikan harga suatu kebutuhan pokok. Karena itu, saya sampai sekarang juga belum menemukan formula yang pas agar bisa dibilang pro-rakyat. Semoga saja pelayan-pelayan negara yang bertugas untuk membuat kebijakan segera menemukan formula tersebut. Atau.. mungkin, mereka (kecuali yang terbukti korup) sudah menemukannya.. (siapa tahu..?)

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun