Mohon tunggu...
Setyo Haryono
Setyo Haryono Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Pegiat Literas | Fasilitator Pemberdayaan | Pemerhati Pendidikan

Filsafat adalah kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Fenomena Post Truth, Ustadz Viral dan Potensi Kesesatan Massal

30 Juli 2024   02:43 Diperbarui: 30 Juli 2024   02:47 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 Sejarah Post Truth

 Post Truth adalah Frasa yang dipopulerkan tahun 1992 oleh Steve Tesich dalam tulisan berjudul The Government of Lies. Dalam artikel yang dipublish di majalah The Nation tersebut, Tesich menulis bahwa "kita sebagai manusia yang bebas, punya kebebasan menentukan ingin hidup di dunia post truth". Tulisan tersebut merupakan bentuk ungkapan kegelisahan Tesich atas propaganda negara-negara yang terlibat dalam Perang Teluk di awal dekade 90-an. Memang harus diakui propaganda negara-negara yang berseteru saat itu sangat membingungkan publik global. Kebenaran dan kepalsuan menjadi hal yang sulit untuk dibedakan.

Kemudian di tahun 2004, Ralph Keyes bersama komedian Stephen Colber mempopulerkan istilah yang kurang lebih sama: truthiness, yaitu sesuatu yang seolah-olah benar, padahal tidak benar sama sekali. Puncaknya adalah di tahun 2016 saat Donald Trump mengikuti pemilihan presiden di Amerika, dimana para voter di negara Paman Sam bahkan publik global terpolarisasi dan dibingungkan oleh berita-berita maupun opini-opini yang beredar. Metode propaganda firehouse of falsehood-nya Donald Trump menciptakan kondisi post truth yang menggemparkan. Sampai-sampai, kamus Oxford menobatkan post truth menjadi word of the year, dan mendefiniskan post truth sebagai kondisi dimana fakta tidak terlalu berpengaruh terhadap pembentukan opini masyarakat dibandingkan emosi dan keyakinan personal.

Fenomena Ustadz Viral 

Dalam era digital seperti sekarang, fenomena ustadz yang viral di media sosial semakin marak. Kemudahan akses internet dan platform media sosial telah memberikan panggung bagi para pendakwah untuk menjangkau audiens yang lebih luas. Namun, di balik popularitas yang mereka raih, terdapat potensi kesesatan massal yang perlu diwaspadai.

Faktor Penyebab Viralitas

Konten yang Menarik: Ustadz yang viral seringkali menyajikan konten yang menarik, mudah dicerna, dan sesuai dengan selera audiens. Penggunaan bahasa yang sederhana, gaya penyampaian yang menghibur, serta visual yang menarik menjadi daya tarik tersendiri.

  • Platform Media Sosial: Platform seperti YouTube, TikTok, dan Instagram menyediakan alat yang sangat efektif untuk menyebarkan konten secara cepat dan luas. Fitur-fitur interaktif seperti komentar, like, dan share memungkinkan audiens untuk berinteraksi dan menyebarkan konten tersebut kepada orang lain.
  • Algoritma: Algoritma yang digunakan oleh platform media sosial cenderung memprioritaskan konten yang viral dan menarik. Hal ini membuat konten dari ustadz yang populer semakin mudah ditemukan oleh pengguna.

Potensi Kesesatan Massal

Era Post Truth erat kaitannya dengan fenomena Ustadz Viral yang berpotensi membawa umat tersesat. Karena mereka umumnya mengedepankan popularitas (meskipun tidak bisa digeneralisir) yang lahir dari amplifikasi media online.

  • Informasi yang tidak terverifikasi: Tidak semua informasi yang disampaikan oleh ustadz viral dapat dijamin kebenarannya. Terkadang, terdapat kesalahan penafsiran terhadap teks agama, atau bahkan penyampaian informasi yang tidak sesuai dengan sumber aslinya.
  • Terputusnya Sanad Keilmuan:   Dalam dunia pesantren, istilah sanad keilmuan sangat ditekankan sebagai landasan pijak datangnya ilmu (agama), maka khususnya di pesantren Aswaja (tradisional) seorang kyai ( pengasuh) sangat berhati-hati dalam memilih kitab pelajaran sebagai bahan ajar pesantren. Yakni kitab yang pengarangnya benar-benar terverifikasi dan tervalidasi dengan sahih.  

Namun umumnya ustadz yang viral mereka tidak memiliki sanad keilmuan yang tervalidasi. Mereka hanya bermodal membaca buku  (bukan kitab) yang sanadnya diragukan bahkan terputus. Padahal sanad keilmuan ini sangat berpengaruh terhadap keberkahan dari sebuah ilmu.

  • Penyederhanaan Ajaran Agama: Demi menarik perhatian audiens, ajaran agama seringkali disederhanakan atau bahkan dipelintir. Hal ini dapat menyebabkan pemahaman yang keliru tentang agama dan memunculkan berbagai macam aliran sesat.
  • Pengaruh Emosi: Konten yang bersifat emosional dan menggugah perasaan dapat dengan mudah memengaruhi audiens. Akibatnya, audiens cenderung menerima informasi tanpa melakukan verifikasi lebih lanjut.
  • Polarisasi: Ustadz viral seringkali menciptakan polarisasi di kalangan masyarakat. Mereka membagi dunia menjadi hitam dan putih, benar dan salah, sehingga memicu perdebatan yang tidak produktif.

Cara Mencegah Kesesatan Massal

  • Memilih Guru yang sanadnya nyambung ke Rasulullah: memilih seorang guru dalam bidang agama sangat penting. Karena Guru agama tidak hanya mengajarkan ilmu dengan lisan , tetapi juga memberi tauladan dan bertanggung jawab secara Ruhani. Maka pastikan memilih seorang guru/ ustadz yang Sanadnya sampai ke Rasulullah sebagai Kota Ilmu. 
  • Verifikasi Informasi: Sebelum menerima suatu informasi, pastikan untuk melakukan verifikasi terlebih dahulu dengan sumber-sumber yang terpercaya.
  • Belajar Agama dari Sumber yang Tepat: Pelajari agama dari sumber-sumber yang kredibel, seperti kitab suci, hadis sahih, dan ulama yang kompeten. Terutama mereka yang memiliki basis pesantren ahlussunah waljamaah 
  • Berpikir Kritis: Jangan mudah terbawa oleh emosi dan arus informasi. Gunakan akal sehat untuk menganalisis setiap informasi yang kita terima. Sehingga apa yang didapatkan sudah melalui tahapan verifikasi keilmuan.
  • Berdiskusi dengan Ahlinya: Jika memiliki pertanyaan atau keraguan, jangan ragu untuk berkonsultasi dengan ulama atau ahli agama yang kompeten.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun