Mohon tunggu...
Setyo Budiantoro
Setyo Budiantoro Mohon Tunggu... Konsultan - Percikan pemikiran tentang transformasi pembangunan

Nexus Strategist, Development Economist, Entrepreneur, Writer https://www.budinomic.info/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

In Memoriam: Kartono Muhammad

1 Mei 2020   07:31 Diperbarui: 1 Mei 2020   07:57 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Konferensi pers dugaan korupsi penghilangan ayat UU Kesehatan di Indonesia Corruption Watch (ICW), bersama Kartono Muhammad dan Tulus Abadi (YLKI) | dokpri

Salah satu sejarah paling kelam dalam legislasi di republik adalah penghilangan ayat dalam Undang Undang yang telah disahkan. Skandal terbesar di republik itu, disinyalir melibatkan gelimang pundi-pundi ratusan miliar.

Dalam UU Kesehatan, ayat yang hilang itu berbunyi "Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau padat, cairan, dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat sekelilingnya."

Rokok sebagai produk tembakau, tentu masih boleh dikonsumsi. Namun dengan ayat itu , iklan rokok harus dilarang total. Dalam UU Penyiaran, mengiklankan zat adiktif jelas dilarang. Iklan rokok adalah pemicu anak-anak merokok. Triliunan rupiah telah digelontorkan untuk iklan rokok, terutama di televisi.

Tidak ada seorang pecandu rokok paling hebat sekalipun yang menginginkan anaknya menjadi pecandu rokok. Rokok seperti kita tahu, menyebabkan berbagai penyakit seperti kanker, stroke, jantung, dll. Kini penyakit itu menjadi penyebab kematian nomor satu dan menggerogoti ratusan triliun anggaran kesehatan (serta tabungan dan kepedihan keluarga).

Bila anak kecanduan merokok, ini adalah ATM seumur hidup bagi industri rokok. Dia akan merokok sampai sakit berat dan terpaksa tidak bisa lagi merokok, atau bahkan merokok hingga meninggal. Itulah jahatnya zat adiktif, penyebab kecanduan. Inilah yang membuat zat adiktif dilarang diiklankan. Siapa sudah kecanduan rokok dan berhenti sendiri? Kemungkinannya, sangat kecil.

Coba perhatikan, iklan rokok di televisi adalah iklan paling kreatif dan sangat gencar. Merokok diasosiasikan dengan cool, keren, gaul, percaya diri, jantan, setia kawan, fun, dll. Itulah imaji yang diciptakan iklan rokok, dengan kecanggihan tanpa memperlihatkan wujud rokok. 

Tak heran, anak-anak yang sedang mencari jati diri terpicu merokok. Inilah juga yang menyebabkan pecandu rokok makin belia. Anak mulai merokok umur 12 tahun sekitar sepuluh tahun lalu, kini turun mulai 7 tahun. BBC menulis, 20 juta anak Indonesia merokok sebelum umur 10 tahun. Artinya, sebelum sekolah dasar kelas 4.

Kecanduan, balita merokok 40 batang per hari di Sukabumi (Foto: Tribunnews.com)
Kecanduan, balita merokok 40 batang per hari di Sukabumi (Foto: Tribunnews.com)

Silahkan di-chek, hampir tak ada negara beradab di dunia yang memperbolehkan iklan rokok (bahkan di Afrika), kecuali Indonesia. Keponakan dari Jerman yang berusia kuliah waktu tinggal di rumah, dia mengatakan baru pertama kali dalam hidupnya dia melihat iklan rokok di televisi. Tentu saja, Jerman melarang total iklan rokok di televisi dan radio sejak 45 tahun lalu.

Dari ngobrol dengan aktivis pentolan penggiat tembakau, menurutnya industri rokok kecil sebenarnya mendukung pelarangan iklan rokok. Saya agak kaget, saya tanya mengapa? Lho mas, yang bisa beriklan di televisi khan ya perusahaan rokok raksasa. Mana ada perusahaan rokok kecil iklan di TV? Disamping itu kami juga engga mau anak-anak merokok, tambahnya.

Apa yang dikatakannya memang benar, industri rokok kecil makin tergencet dan terpojok di senjakala. Di samping tidak mampu beriklan, mereka juga kalah efisien dengan perusahaan rokok yang bermesin canggih, automasi, atau bahkan menggunakan robot. 

Selain itu, kebutuhan skala raksasa tembakau juga dengan mudah diimpor. Kini, separuh dari sekitar 400 miliar batang rokok/tahun yang dihisap di Indonesia, tembakaunya dari impor. Tren memperlihatkan, tembakau impor melebihi produk petani tembakau dalam negeri.

Bisnis rokok memang dahsyat, lihat saja siapa orang terkaya di negeri ini. Bayangkan, lebih dari satu miliar rokok dihisap tiap hari, silahkan kalikan saja 500 rupiah. Persentase perokok laki-laki dewasa Indonesia, kini tertinggi di dunia. Dari 4 laki-laki dewasa, 3 diantaranya perokok. 

Selain itu, persentase perempuan merokok juga merambat naik. Bila di berbagai penjuru dunia kita menjumpai negara makin maju maka konsumsi rokok menurun karena tingkat pendidikan dan kesadaran kesehatan makin tinggi, ironisnya Indonesia menjadi pengecualian.

Penghentian iklan rokok adalah jalan tengah. Konsumsi rokok di Indonesia luar biasa besar, bahkan tembakaunya pun masih diimpor. Petani tembakau tetap bisa hidup dan punya waktu transisi lebih dari 50 tahun. Industri rokok tetap berjalan dan profitable karena ratusan miliar batang rokok terus diproduksi. Pemerintah tentu juga masih mendapatkan cukai selama puluhan tahun. Namun, meracuni rokok pada anak-anak sudah saatnya dihentikan.

Kartono Muhammad adalah salah satu sosok paling berani membongkar "mutilasi" ayat UU Kesehatan. Sebagai dokter dan ahli kesehatan masyarakat, beliau tahu benar jahatnya dampak rokok. Kasus itu lalu dilaporkan ke Bareskrim, pak Hakim (dokter dan mantan anggota DPR) menyampaikan laporan dan saya turut mendampingi. Lalu, beberapa kali pak KM (panggilan akrab kami), kang Tulus dan saya jumpa pers di ICW (Indonesia Corruption Watch). Korupsi ayat secara sengaja yang belum ada presedennya di republik ini, bisa dipastikan tidak gratis.

Pak KM dan pak Hakim bahkan kemudian dituntut dan diancam dikriminalisasikan seorang anggota DPR, karena dituduh melakukan pencemaran nama baik. Pak KM dan pak Hakim tetap tak bergeser sedikitpun. Perjuangan pengembalian ayat UU Kesehatan, sangat melelahkan dan penuh ketegangan. Nampak jelas, ini adalah skandal besar kejahatan kerah putih dan diduga melibatkan ratusan miliar di dalamnya.

Karena segera menggegerkan seluruh republik, ayat UU Kesehatan yang "dimutilasi" dikembalikan. Sungguh, tidak sia-sia perjuangan. Kelegaan yang luar biasa kami rasakan, namun kemudian terjadi anti klimaks. Nama yang sebelumnya sudah menjadi tersangka, kemudian diklarifikasi ada kesalahan. Lalu, Polri juga mengeluarkan surat pemberhentian penyidikan (SP3) kasus penghilangan ayat UU Kesehatan. SP3 tersebut kemudian digugat ke pengadilan, namun juga kandas.

Karena tidak jadi dibawa ke pengadilan, kita tidak tahu apa sebenarnya yang terjadi di dalamnya. Bila misalnya benar ada anggota DPR yang terlibat, tentu kita juga ingin mengetahui motifnya. Bila ada motif ekonomi di dalamnya, kita juga ingin tahu siapa dibalik itu. Namun karena SP3, semua menjadi gelap.

Saya tidak mengikuti lagi apa yang terjadi, namun dengan berbagai jurus hukum yang "lihai" ternyata iklan rokok juga tidak jadi dilarang dan tetap diperbolehkan hingga sekarang, tidak ada beda dari sebelumnya. Kecenderungan anak-anak merokok juga terus menunjukkan tren yang makin mengkhawatirkan. Sungguh miris.

Pak KM telah berjuang, bahkan mendapat ancaman dan pernah masuk poster salah satu yang "dihalalkan" karena mengganggu kepentingan besar. Apakah perjuangan pak KM sia-sia? Tentu tidak. Seperti mitologi Sisifus, perjuangan itu sendiri sudah cukup mengisi hati manusia. Perjuangan yang dipastikan berhasil, justru utopisme kesia-sian sendiri. Cukup seperti bisik Nyai Ontosoroh, "kita telah melawan sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya".

Pak Kartono Muhammad kini telah berpulang. Namun semangatnya telah menular ke republik, hanya tinggal waktu yang akan menjawab perjuangannya. Ini hanya tinggal soal waktu.

"Hidup yang tidak dipertaruhkan tidak akan pernah dimenangkan", kata Schiller. Pak Kartono sudah mempertaruhkan hidupnya pada hal yang sangat berarti, memperjuangkan masa depan anak-anak republik dan akan terus kita kenang. Selamat Jalan Pak KM. Doa kami mengiringi jalan keabadianmu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun