Mohon tunggu...
Setyo Ari Cahyono
Setyo Ari Cahyono Mohon Tunggu... Dokter - A man who love Literatures that trapped inside doctor's body.

Penggemar sains dan sastra klasik, pemerhati politik, pemerhati semesta alam, dan penulis curahan hati.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hari ke-14

10 Maret 2021   18:22 Diperbarui: 10 Maret 2021   18:44 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Malam ini harusnya malam terakhir, seharusnya besok aku gembira, senang dan bersuka cita bertemu orang-orang di luar sana. Meskipun penjara di Polsek tampak lebih nyaman dari rumah isolasi ini, aku cukup enjoy aja tanpa tekanan. Namun mengapa malam ini terasa beda banget dari 13 malam yang sudah kuhabiskan kemarin. 

Sumpah ada yang aneh.

Jarum detik jam di tembok masih bergeal-geol menuju angka 11 malam, burung di dalam jam dinding kayu itu mati, tak ada suara lagi. Bagi sebagian orang risihlah mendengar suara "Kik-kuk-kik-kuk" jam kuno dengan ringtone suara burung. Klasik, vintage dan terkesan horor. 

Keheningan yang kedua karena ga ada suara teriakan cicak-cicak di dinding, yang diam-diam merayap. Bukan karena dia banyak melahap nyamuk terus tidur. Justru di lantai banyak bangkai tubuh cicak berjatuhan, tanpa kepala lagi. Ya ampun..Ya aku agak ngeri sih, tapi ya sudahlah kukumpulin semua cicak-cicak mati itu dan ku letakkan di halaman belakang rumah. 

Selanjutnya, lampu mati. Kutengok keluar, kanan kiri rumah lain beneran pada mati juga. Ini kenapa ya suasana kok pada janjian bikin mrinding gini. Tapi biasanya kalo lampu mati, ada-lah satu dua rumah nyalain lampu cadangan atau semacam lampu cas-cas an. Tapi ini ga ada satu rumah pun nampak ada cahaya. 

Nah ini hujan petir juga mulai menghiasi langit. Hujannya ga seberapa sih, cuman petir nya bersahutan, semacam The Thor lagi latihan perang saja. Sejak jam 10 menit sudah ku hitung ada kalau 13 kali petir itu memecah angkasa. Kaca jendela dan pintu dibuatnya bergetar maksimal. Untung saja tidak pecah, coba kalau pecah saya sudah ambil langkah seribu.

Terdengar sayup suara orang memanggil dan mengetok rumah, tapi bukan dari pintu depan asal suara itu. Melainkan dari cermin kamar. Sayapun memastikan pendengaran saya tidak tuli atau halusinasi. Iya bener kok asal suara dari cermin ya. Ah bodo, coba saya cek keluar, loh kok ga ada siapa-siapa ya. Sinyal merinding saya udah mau maksimal ini, mulut udah bergumam baca-baca doa.

Tragedi kesunyian ini berlangsung berjam-jam. Rasa-rasanya saya kok menempati rumah yang salah ya. Beda ama suasana 13 hari kemarin. Saya coba nyalakan ponsel, mati ga bisa. Padahal saya masih yakin terakhir batrei nya masih 10%.   

Udahlah dari pada saya di dalam rumah ketakutan dan was-was, saya nongkrong di depan teras. Ditemani 3 batang lilin yang saya nyalakan barengan. Lampu tak kunjung nyala. Ini kopi hitam juga udah habis 2 gelas, makin menambah insomnia. 

Tiba-tiba, ada yang menetes di dahi ku. Semacam air tapi hangat. Beberapa detik menjelang, kepala ku seperti tenggelam ke dalam sungai. Sesak nafasku tercekik. Ada benda berbentuk selang menyumpal di mulutku, masker yang kupakai bukan masker kain lagi, bening ada selang lagi yang tersambung ke tabung besar. Suara mesin dan monitor silih berganti. Di depan ada sosok  bayangan berjubah hitam, tinggi besar. 

sac- (to be continued)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun