Pohon turut andil terhadap kelangsungan hidup manusia. Pohon bisa membersihkan udara yang kotor menjadi bersih. Di setiap wilayah, apakah itu sebuah desa, sebuah kota, hingga sebuah negara pasti memiliki ruang hijau. Kalo sudah masuk ke sebuah negara, taman hijau itu dikatakannya hutan. Negara kita punya hutan yang sangat luas lho, katanya. Nah, hutan-hutan itulah yang melakukan penyaringan alami terhadap udara yang kotor. Itu sebabnya hutan disebut sebagai paru-paru dunia. Yuk kita jaga hutan kita, buat kelangsungan anak-cucu kelak. Nggak rela, kan, kalo anak-cucu kita nanti bernapas dengan udara yang penuh dengan asap.
Nah, keuntungan lain dari pohon adalah bisa sebagai pengganti lullaby song, alias  bisa menina-bobokan kita. Nggak percaya? Coba aja pergi ke Setu Babakan. Jangan lupa bawa tiker. Trus, cari deh pohon yang bisa diduduki bawahnya. Selanjutnya tinggal gelar tuh tiker. Dijamin, tak sampai sejam kepala sudah berat tuh kena kantuk. Apalagi kalo sebelumnya perut sudah diisi dengan bakso atau nasi pecel yang banyak dijual di sana. Makin cepet dah kantuk menyerang. Selamat mencoba.
Tapi di sini, saya nggak akan ngomongin pohon-pohon tersebut. Saya akan ngomong soal pohon versi kecil tapi dahsyat manfaatnya. Mau tau pohon apa? Ya, benar jawaban sodara-sodara. Saya akan ngomongin pohon cabe. Cabe apa cabai, sih. Saya pake cabe aja, ya. Nggak terbiasa dengan kata cabai. Hehehe
Sebagaimana yang telah diketahui bersama, bahwasanya, kita mendapat hadiah tahun baru dari petinggi negara, yaitu harga cabe mahal. Konon katanya sih ceritanya begitu, hadiah tahun baru dari yang di atas. Tapi bener nggaknya, ya bener itu. Wong biasanya saya beli cabe di tukang sayur, tiga ribu saja dilayani dan sudah dapet banyak. Sekarang bilang tiga ribu nggak dikasih sama penjualnya. Naik tiga kali jadi sepuluh ribu, baru bisa layani. Ckckckck
Sebagai seorang ibu rumah tangga, nggak rela dong budjet (baca: bajet) belanja naik 3 kali lipat hanya untuk satu barang kebutuhan dapur. Itu baru cabe yang naik harga. Gimana kalo garem, beras, telor beserta teman-temannya juga pada naik? Kalo barang-barang tersebut naik limaratus rupiah saja per item, udah berapa tuh bengkaknya uang belanjaan. Bukannya pelit, tapi itulah khasnya emak-emak. Harus ngirit uang belanja bulanan. Pan, kita nggak hidup untuk sehari doang? Emak-emak, kalo belanja kebutuhan dapur, lima ratus perak aja masih harus ditawar. (etapi kalo beli make up malah kagak pernah nawar tuh, hihihi)
Berangkat, eh berbekal (terserah deh kata apa yang cocok :D ) inilah saya bertekad membuat resolusi alias perubahan di tahun ini. Perubahan tentang percabean. Dan niat saya ini juga diamini oleh pak erte, eh pak suami. Saya pengen punya paling nggak 100 pohon cabe di rumah. Wah, yakin hanya 100 pohon? Antara yakin dan nggak yakin, sih. Maunya 1000 pohon cabe. Tapi menanam cabe hingga berbuah kan susah banget. Ini kata petani cabenya. Susah dan mahal. Belum lagi kalo diserang hama. Jadi, daripada tidak berhasil sama-sekali alias ndak jadi nanem cabe, dikurangi satu nolnya jadi 100 pohon aja.
Dalam bayangan saya, eh benak ding. Misalnya satu pohon bisa berbuah lima biji saja, dari 100 pohon bisa menghasilkan 500 biji. Ditimbang mungkin bisa dua kilo lebih. Lumayan, kan. Pastinya bisa beberapa minggu nggak beli cabe. Budget cabe bisa dialokasikan untuk tambah beli garem, wkwkwk. Kalo perlu bikin sambel tinggal petik dari pohonnya langsung. Dan, kalo mau lebih berkah, bisa saya kasihkan ke tetangga-tetangga sebelah. Atau ada kompasianer di sini yang mau? Nanti ya, saya kirim kalo panen. Aih, semoga kejadian, nanem cabenya. Bismillah.
Nah, saya mau cerita juga nih susahnya nanem cabe. Itu ternyata bener sodara-sodara. Nggak bohong atau settingan belaka. Beberapa bulan yang lalu, saya lupa persisnya, iseng saya sudah nanem cabe di dalam pot. Nggak niat nanem, tadinya niat buang biji doang, tapi di dalam pot. Nggak lama kemudian tuh benih tumbuh lalu berbunga. Hati sudah sueneng banget, karena merasa berhasil. Eh, tak diduga tak dinyana, bunganya nggak ada yang jadi cabe, alias rontok semua. Duh.
Setelah bunganya rontok, daunnya pun dirubungi semut. Daunnya pun mengecil alias mengkerut, sampai rontok semua tinggal ranting doang. Mau dicabut juga kasian. Akhirnya saya biarkan saja. Bahkan sempat hampir mati karena lupa nyiram. Tapi seperti kucing yang punya sembilan nyawa, si pohon bisa bertunas lagi. Saya pun dengan harapan baru semangat pula nyiraminya.
Ndilalah, mungkin karena saking perhatiannya saya sama si pohon (ciiyee) awal tahun ini dia berbunga lagi, proses bunga yang kedua. Daann, sueneng 7 turunan karena bunga kali ini jadi buah, alias ngga rontok. Horreee
Meski tidak semua bunga jadi buah, sih. Hanya 3 saja yang berhasil. Dan mudah-mudahan, bulan depan bisa dibikin sambel bawang. Hihihi. Nah, dari sinilah saya ingin menggandakannya menjadi 100 biji pohon cabe. Dengan memanfaatkan cabe yang sudah kita beli, trus menebar isinya di dalam pot. Bisa juga di polybag atau memanfaatkan kantong bekas minyak goreng. Sederhana, tapi berguna.
Dan inilah penampakan sebiji pohon cabe yang berhasil saya budidayakan. Ciiyee, budidaya katanya, wkwkwk. Cukup sekian resolusi 2017 yang harus terlaksana, sehingga tidak menjadi sekadar resolusi wacana. Sekian dan terima kalender. :D
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H