Satu-satunya sumber air baku Instalasi Pengolahan Air (IPA) Cilandak, Jakarta Selatan, adalah dari Kali Krukut. Kali Krukut ini, sebetulnya secara jumlah air memadai. Tapi karena kondisi air Kali Krukut ini harus melewati 2 kali proses pengolahan, ini menjadi pertanda bahwa tingkat pencemaran di Kali Krukut cukup tinggi. Karena itu, IPA Cilandak menerapkan strategi khusus untuk mengatasi kondisi tersebut. Seperti apa strateginya? Mari kita mulai berkenalan dengan Rizky Galuh Darmadi, orang nomor satu di sana.
Berkat pengalaman dan pengetahuannya tentang air, ia bisa menjelaskan secara komprehensif tahap demi tahap proses pengolahan air di IPA Cilandak. Bersama Rizky Darmadi, saya dan kawan kompasianer menyusuri dan menjelajah instalasi, untuk melihat langsung proses pengolahan air bersih di IPA Cilandak. Diselingi gelak tawa renyah, kunjungan pada 07 Desember 2016 siang itu terasa jauh dari kata lelah.
Pencemaran Kali Krukut berasal dari sampah padat dan sampah terlarut. Plastik, steorofoam, baju, daun kering, botol plastik, ranting, pohon, sepatu, sandal, hingga sofa dan kasur adalah contoh sampah padat yang sering didapat dari Kali Krukut. Di IPA Cilandak jumlah sampah padat ini bisa mencapai 6 kubik per hari, atau setara dengan berat 6 ton. Untuk mengangkut dan membuang sampah-sampah tersebut, IPA Cilandak bekerja sama dengan Dinas Kebersihan DKI Jakarta.
Sampah terlarut yang ada di Kali Krukut juga tak kalah beratnya dengan sampah padat. Detergent, amonium, mangan adalah beberapa jenis yang termasuk sampah terlarut. Sampah terlarut ini banyak disumbang oleh limbah domestik rumah tangga dan juga dari limbah industri. Karena bersifat larut dalam air, membuat sampah ini memerlukan penanganan khusus sebelum air diolah menjadi air bersih.
Sebelum diolah lebih lanjut, air yang masuk ke instalasi dilakukan screening/penyaringan terlebih dulu dari sampah padat yang ada di dalam air. Terdapat dua kali penyaringan, konvensional dengan tenaga manusia dan penyaringan otomatis menggunakan mesin. Dulu awalnya hanya mengandalkan tenaga manusia saja untuk mengambil sampah dari dalam air. Seiring dengan makin memburuknya kondisi air Kali Krukut yang penuh sampah, sekarang sudah dipasang mesin otomatis untuk menyaring sampah dari air. Mesin ini ditempatkan persis di depan intake Kali Krukut.
Maka, dikembangkanlah teknologi Biological Pretreatment yaitu Moving Bed Biofilm Reactor (MBBR). MBBR merupakan teknologi pengolah air baku, pertama di Asia Tenggara. Dan Palyja adalah operator pengolahan air pertama di Indonesia yang menerapkan teknologi ini.
Teknologi MBBR ini memanfaatkan mikroorganisme alami yang hidup di dalam air untuk mengeliminasi polutan amonium, detergent dan mangan. Teknologi Moving Bed Biofilm Reactor (MBBR) ini pertama kali di terapkan Palyja di Indonesia tahun 2015 di Instalasi Pengambilan Air Kanal Banjir Barat. Peresmian di Kanal Banjir Barat di hadiri oleh Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Hasilnya, kadar polutan amonium, detergent dan mangan di Kanal Banjir Barat berkurang hingga 87 persen.
Mengadopsi keberhasilan di Kanal Banjir Barat, teknologi MBBR pun mulai diterapkan di IPA Cilandak. Ujicobanya telah dilakukan sejak 2015 lalu. Mengingat, kondisi air Kali Krukut yang juga semakin memburuk setiap tahunnya. Bahkan tahun 2015 lalu IPA Cilandak harus menurunkan kapasitas produksinya 50 persen atau separuh dari yang biasa dihasilnya, yaitu 400 liter per detik turun menjadi 200 liter per detik. Itu karena air yang didapat dari Kali Krukut kadar amoniumnya mencapai angka 7 mg/L (miligram per liter). Angka yang jauh di atas standar yang ditetapkan dalam sistem pengolahan air bersih, yaitu 1 mg/L (miligram per liter). Dengan dioperasikannya teknologi MBBR, produksi air bersih IPA Cilandak bisa kembali normal dengan 400 liter per detik.