Namun sebagai kreator hendaknya juga harus mengukur diri, mengukur kemampuan untuk mencari gandengan dengan bisnis yang bisa mendukung untuk menaikkan atau meningkatkan kompetensinya.
“Penyerapan pekerja itu penting. Kalau industri kreatif ini bisa berkembang di mana-mana maka terjadi pemerataan. Itu sebabnya BCA mendukung sekali pengembangan industri kreatif di Indonesia,” ujar Jahja dalam sambutannya.
Keberadaan industri kreatif di Indonesia sebenarnya sudah lama. Adanya teknologi sebagai sarana, membantu posisi industri kreatif untuk tumbuh berkembang lebih cepat. Sebagai contoh, dulu pengeluaran terbesar dalam bisnis adalah biaya promosi atau iklan. Dengan adanya teknologi, promosi kini bisa dilakukan di berbagai platform media sosial. “Tinggal bagaimana backup sistem di belakangnya. Bagaimana meng-create sistemnya, supportnya, statistiknya, production, dan quality of the product,” terang Jahja.
Lebih lanjut, Jahja mengatakan kalau piramid bisnis tidak bisa dihindarkan. Itu yang harus disadari oleh setiap kreator bahwa seorang kreator harus bisa mengukur kemampuan untuk naik ke jenjang tangga mana dan bertahan.
Di sisi lain, bisnis kreatif merupakan sesuatu yang menjual masa depan. Perbankan tidak bisa masuk ke dalamnya. Perbankan, by regulation harus melihat past record, performance yang nyata, harus ada jaminan dan lain sebagainya, sehingga perbankan tidak bisa masuk ke bisnis kreatif.
“Kecuali bila ada motor yaitu pemerintah. Bila industri kreatif ini dimotori oleh pemerintah, diberikan semacam jaminan, maka perbankan bisa menyupport dari segi pendanaan,”jelas Jahja. Jaminan yang di maksud yaitu hal-hal yang sesuai peraturan perbankan.
Di akhir sambutannya, Jahja berpesan bahwa “industri kreatif harus dikembangkan tapi tetap pada rambu-rambu yang memang bisa dipenuhi oleh masing-masing individu.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H