Ketika kita menghadiri suatu acara pernikahan, sering kali kita abai dengan prosesi yang dilakukan keluarga mempelai. Kita cenderung cukup membekali diri dengan ilmu: adat mana yang dipakai? Selebihnya kita tidak terlalu peduli, atau bahkan tidak mau tahu, seperti apa dan bagaimana prosesi tersebut memberi makna (dimaknai) pada kehidupan. Padahal, dalam prosesi adat sepasang pengantin tersebut, terdapat banyak sekali filosofi spiritual serta falsafah hidup yang dapat kita pelajari. Dan itulah salah satu dari makna kebudayaan, tradisi temurun, yang setidaknya masih dilestarikan hingga kini.
Salah satu yang masih peduli terhadap kebudayaan Indonesia, khususnya tradisi keraton adalah Paguyuban Catur Sagotra Nusantara (Trah Agung Mataram). Pada 21-25 September 2014, bertempat di Museum Tekstil Jakarta, Paguyuban Catur Sagotra Nusantara (PCSN) menggelar sebuah pameran budaya dalam Wastra Adat Keraton Dalam Tradisi Pernikahan. Yaitu, peragaan busana adat pernikahan keraton yang tergabung dalam Paguyuban Catur Sagotra Nusantara. Pameran ini sekaligus mengangkat wastra adat keraton sebagai bagian dari kekayaan budaya bangsa yang tinggi nilai dan maknanya.
Paguyuban ini dulunya bernama Catur Sagotra. Catur yang bermakna empat dan Sagotra yang bermakna bersatu kata, sepakat, merupakan wadah silaturahmi dan komunikasi empat keraton di Jawa keturunan Dinasti Mataram Islam. Mereka adalah: Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Keraton Kasunanan Ngayogjakarta Hadiningrat, Pura Mangkunegaran Surakarta Hadiningrat, dan Pura Pakualam Ngayogjakarta Hadiningrat. Dalam perkembangannya, keraton-keraton dari luar Jawa turut bergabung dalam Paguyuban Catur Sagotra Nusantara. Antara lain: Kasultanan Kasepuhan Cirebon, Puri Agung Karangasem Bali, dan Kasultanan Samalanga Aceh Darussalam.
“Sebentar lagi jumlah anggota Catur Sagotra Nusantara akan bertambah, dengan masuknya trah Kasultanan Ternate. Ini cukup menggembirakan,” papar Nani Soedarsono, pemrakarsa Paguyuban Catur Sagotra Nusantara (PCSN), yang mendapat kalenggahan dengan gelar KRAy Adipati Sedhahmirah dari Paku Buwono XII.
Catur Sagotra berawal dari agenda tahunan keraton berupa pameran dan pentas kesenian pada perayaan Sekaten, yang menjadi cikal bakal Festival Keraton pada era Menteri Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi (Menparpostel) Joop Ave. Namun setelah bukan lembaga, Catur Sagotra ini tidak lagi terdengar gaungnya dan kian tersisih. Catur Sagotra di akta notariskan pada 28 April 2012, dan dikukuhkan pada 12 Mei 2013 dengan nama Paguyuban Citra Sagotra Nusantara.
Nah, dalam rangka memperingati HUT ke-3, Paguyuban Catur Sagotra Nusantara kembali mempersembahkan sebuah pagelaran seni, yaitu Pagelaran Langen Beksa Adiluhung Keraton Nusantara di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ) pada Rabu, 11 Mei 2016.
Sebuah pagelaran seni yang agung, sakral, religius, dan langsung dari sumber pusat kebudayaan, dalam hal ini adalah keraton. Karena merupakan tarian adiluhung/pusaka dari keraton, yang memiliki karakter filosofi dan spritual yang beragam serta latar belakang falsafah yang berakar pada tradisi keraton masing-masing.
“Sudah pasti harus ada izin dari para raja di masing-masing keraton,” tutur KRAy.T. Sritapi Suryoadiputro, Ketua Periodik Paguyuban Catur Sagotra Nusantara (2016-2017).
Lima tarian di tampilkan dalam Langen Beksa Adiluhung Keraton Nusantara. Beksan Srimpi Pandhelori, Lelangen Beksan Pitutur Jati, Legong Keraton, Bedhaya Duradasih serta Bedhaya Diradameta mampu ditampilkan dengan apik oleh para penari pilihan.
“Tari sebagai cara mengisi dan memperkaya kehidupan, itu penting. Tari dapat mengembalikan masyarakat lebih humanis, penyeimbang kehidupan,” ujar Nani Soedarsono.
Suguhan pertama dari Keraton Kasunanan Ngayogjakarta Hadiningrat adalah tari Beksan Srimpi Pandhelori.
Beksan Srimpi Pandhelori diambil dari epos Carios Menak yang mengisahkan cerita dari Persia atau Arab. Menceritakan tentang perang tanding antara Dewi Kadarwati dari Negara Koparman melawan Dyah Ayu Ngumyun Madikin, seorang putri dari Negara Ngambarkustup. Keduanya sama-sama tangguh dan sakti (sami kaprawiranipun, Jawa). Dalam peperangan ini tidak ada yang kalah dan tak ada yang menang, namun berdua bersatu dan sepakat mengabdi setia kepada Wong Agung Menak, Tiyang Ageng Jayengrana. Hal ini diceritakan dalam syair vokal (gerongan) pada alunan gendhing yang mengiringi tarian ini.
Suguhan tarian ke-dua yaitu, Lelangen Beksan Pitutur Jati dari Pura Pakualaman Ngayogjakarta Hadiningrat.
Pitutur atau piwulang di dalam Serat Piwulang Estri merupakan ajaran atau tuntunan sifat dan sikap luhur dan ideal bagi perempuan. Ajaran dan tuntunan ini tidak hanya berlaku bagi perempuan, tetapi relevan bagi masyarakat pada umumnya sampai sekarang. Karenanya, tarian ini ditampilkan oleh perempuan dan laki-laki. Empat penari perempuan berkonsep srimpi yang terinspirasi dari Langen Wibawa, yang berasal dari masa Sri Paku Alam IV (1864-1878) dan Sri Paku Alam V (1978-1900).
Konsep srimpi yang sarat simbol dan pengendalian diri dipadupadankan dan luluh dengan kegagahan beksan tiga laki-laki. Alunan sekar mijil yang mengiringi diharapkan pula dapat mempresentasikan pitutur luhur yang dapat dijadikan tuntunan dalam menjalani kehidupan.
Tarian Legong Keraton Asmarandana dari Puri Karangasem Bali menjadi suguhan ke-tiga.
Legong Keraton Asmarandana, tarian ini khas dengan busana keemasan dengan dua rangkaian bunga pada mahkotanya (kepala penari), yang begetar pada setiap gerakan kepala dan bahu. Bagian yang sangat bermakna adalah Kipas dna Lamak. Lamak berbentuk persegi panjang yang menjuntai di depan dada ke bawah. Lamak juga berarti alas sajian dalam upacara Bali. Selain bersifat dekoratif, Lamak pada Legong, walaupun non-sakral, tetap merupakan sesajian atau pengungkapan rasa syukur atas anugrahNYA.
Dewa Shiwa bersedih ketika menyadari apa yang terjadi. Tak ada yang dapat dilakukannya. Lalu, Dewa Shiwa menyebarkan abu mereka ke hati menusia sehingga cinta asmara mereka tetap hidup selamanya di dalam hati manusia.
Tari Bedhaya adalah genre tari putri yang berkembang di keraton di Pulau Jawa, khususnya Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Keraton Kasunanan Ngayogjakarta Hadiningrat. Sebelum abad XX, tari Bedhaya mutlak milik keraton, tari pusaka keraton yang hanya dipentaskan di lingkungan keraton.
Tari Bedhaya Duradasih merupakan karya maha besar dari Pangeran Arya Adipati Amangkuregara. Ketika bertahta beliau menyandang gelar Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Susuhunan (SISKS) Paku Buwono IV. Terinspirasidari kisah cinta Pangeran Arya Adipati Amangkuregara yang ditolak oleh Raden Ageng Handaya, puteri Adipati Cakraningrat dari Pulau Madura.
Puteri Madura Raden Ajeng Handaya yang semula meragukan cinta Pangeran, akhirnya jatuh hati. Bedhaya Duradasih menjadi saksi perkawinan Pangeran Arya Adipati Amangkuregara dengan puteri Madura. Setelah menikah, sang pangeran di kenal dengan nama Sinuhun Paku Buwono IV, pewaris tahta dinasti Surakarta. Sedangkan istrinya, Raden Ayu Handaya bergelar BRAy. Adipati Anom.
Ciri umum tari Bedhaya Duradasih adalah selalu dipentaskan oleh 9 orang penari putri, dengan kualitas gerak dan halus cenderung lembut. Masing-masing penari mempunyai nama-nama tertentu dalam komposisinya yaitu: endhel ajeg, batak gulu, dhadha, apit ngarep, apit mburi, apit, meneng, endhel weton serta buncit raja. 9 penari tersebut merupakan simbol formasi arah mata angin, dan juga 9 organ vital tubuh manusia. Semua itu menjadi simbol persatuan dan harmoni dari jagad gedhe dan jagat alit.
Versi lain menyebutkan bahwa jumlah penari merupakan lambang dari 9 Wali atau Wali Songo. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, setiap tari bedhaya dipertunjukkan maka dipercaya Kanjeng Ratu Laut Kidul, Penguasa Pantai Selatan akan hadir dalam upacara dan ikut menari sebagai penari ke-10.
Pertunjukan suguhan ke-lima yaitu Bedhaya Diradameta, dari Pura Mangkunegaran Surakarta Hadiningrat.
Tari ini tidak lagi disajikan selama sekitar 250 tahun. Upaya rekonstruksi dilakukan pada 2006 selama sekitar setahun. Dan bisa dipentaskan kembali pada 17 Maret 2007, bertepatan dengan peringatan Hadeging Praja Mangkunegaran yang ke-250 tahun di Pendhapa Agung Mangkunegaran.
Tari Bedhaya Diradameta disajikan oleh 7 orang penari putra dengan garap gerak tari alus gaya Mangkunegaran. Tarian ini dilengkapi dengan tombak dan gendhewa (panah), dengan kostum penarinya dengan desain dodot ageng.
Pagelaran seni tari Langen Beksa Adiluhing Kraton Nusantara merupakan salah satu cara yang dilakukan keluarga keraton untuk menumbuhkan rasa cinta dan memiliki (handarbeni) terhadap potensi budaya leluhur. Juga sebagai ajang silaturahmi yang kiranya dapat mempererat jalinan kekerabatan dalam upaya menyatukan trah kekerabatan (ngumpulake balung pisah).
“Keraton sebagai pusat kebudayaan, nyata-nyata menjadi sebuah wujud sumber kekayaan budaya yang merupakan Saka Guru dari kepribadian bangsa, menjadi sebuah jatidiri kebangsaan dalam sebuah negara,” tutur Raden Mas Danang Purbaningrat, Ketua Penyelenggara Pagelaran Langen Beksa Adiluhing Keraton Nusantara.
Sejarah budaya juga dapat kita jadikan sebagai cermin untuk mengambil nilai dan hikmah positifnya serta sarana untuk belajar. Jangan sampai generasi berikutnya kehilangan jejak (kepaten obor) dari warisan budaya leluhurnya sendiri. [Arum Sato]
Jakarta, 22 Mei 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H