Tari Bedhaya adalah genre tari putri yang berkembang di keraton di Pulau Jawa, khususnya Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Keraton Kasunanan Ngayogjakarta Hadiningrat. Sebelum abad XX, tari Bedhaya mutlak milik keraton, tari pusaka keraton yang hanya dipentaskan di lingkungan keraton.
Tari Bedhaya Duradasih merupakan karya maha besar dari Pangeran Arya Adipati Amangkuregara. Ketika bertahta beliau menyandang gelar Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Susuhunan (SISKS) Paku Buwono IV. Terinspirasidari kisah cinta Pangeran Arya Adipati Amangkuregara yang ditolak oleh Raden Ageng Handaya, puteri Adipati Cakraningrat dari Pulau Madura.
Puteri Madura Raden Ajeng Handaya yang semula meragukan cinta Pangeran, akhirnya jatuh hati. Bedhaya Duradasih menjadi saksi perkawinan Pangeran Arya Adipati Amangkuregara dengan puteri Madura. Setelah menikah, sang pangeran di kenal dengan nama Sinuhun Paku Buwono IV, pewaris tahta dinasti Surakarta. Sedangkan istrinya, Raden Ayu Handaya bergelar BRAy. Adipati Anom.
Ciri umum tari Bedhaya Duradasih adalah selalu dipentaskan oleh 9 orang penari putri, dengan kualitas gerak dan halus cenderung lembut. Masing-masing penari mempunyai nama-nama tertentu dalam komposisinya yaitu: endhel ajeg, batak gulu, dhadha, apit ngarep, apit mburi, apit, meneng, endhel weton serta buncit raja. 9 penari tersebut merupakan simbol formasi arah mata angin, dan juga 9 organ vital tubuh manusia. Semua itu menjadi simbol persatuan dan harmoni dari jagad gedhe dan jagat alit.
Versi lain menyebutkan bahwa jumlah penari merupakan lambang dari 9 Wali atau Wali Songo. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, setiap tari bedhaya dipertunjukkan maka dipercaya Kanjeng Ratu Laut Kidul, Penguasa Pantai Selatan akan hadir dalam upacara dan ikut menari sebagai penari ke-10.
Pertunjukan suguhan ke-lima yaitu Bedhaya Diradameta, dari Pura Mangkunegaran Surakarta Hadiningrat.
Tari ini tidak lagi disajikan selama sekitar 250 tahun. Upaya rekonstruksi dilakukan pada 2006 selama sekitar setahun. Dan bisa dipentaskan kembali pada 17 Maret 2007, bertepatan dengan peringatan Hadeging Praja Mangkunegaran yang ke-250 tahun di Pendhapa Agung Mangkunegaran.