Mohon tunggu...
Arum Sato
Arum Sato Mohon Tunggu... content writer -

pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Lima Tarian Klasik Keraton dalam Langen Beksa Adiluhung Keraton Nusantara

22 Mei 2016   16:46 Diperbarui: 23 Mei 2016   22:27 1574
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dewa Shiwa murka dan mengamuk kepada Dewa Asmara dan Dewi Ratih akibat telah berani mengganggu pertapaannya. Foto: arum sato
Dewa Shiwa murka dan mengamuk kepada Dewa Asmara dan Dewi Ratih akibat telah berani mengganggu pertapaannya. Foto: arum sato
Suguhan ke-empat adalah Bedhaya Durasih dari Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.

Tari Bedhaya adalah genre tari putri yang berkembang di keraton di Pulau Jawa, khususnya Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Keraton Kasunanan Ngayogjakarta Hadiningrat. Sebelum abad XX, tari Bedhaya mutlak milik keraton, tari pusaka keraton yang hanya dipentaskan di lingkungan keraton.

Tari Bedhaya Duradasih merupakan karya maha besar dari Pangeran Arya Adipati Amangkuregara. Ketika bertahta beliau menyandang gelar Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Susuhunan (SISKS) Paku Buwono IV. Terinspirasidari kisah cinta Pangeran Arya Adipati Amangkuregara yang ditolak oleh Raden Ageng Handaya, puteri Adipati Cakraningrat dari Pulau Madura.

Kelembutan dan gemulai para penari dalam membawakan Tari Bedhaya Duradasih, tari pusaka Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang dipertunjukkan di Gedung Kesenian Jakarta, 11 Mei 2016. Foto: arum sato
Kelembutan dan gemulai para penari dalam membawakan Tari Bedhaya Duradasih, tari pusaka Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang dipertunjukkan di Gedung Kesenian Jakarta, 11 Mei 2016. Foto: arum sato
Dengan perasaan gandrung (rindu dendam, duka asmara), gundah terciptalah tari Bedhaya Duradasih oleh Sang Pangeran Arya Adipati Amangkuregara. Duradasih berasal dari dua kata, dura dan asih. Dura merupakan kependekan dari Madura, Asih yang artinya cinta. Duradasih dalam bahasa Jawa bisa berarti ”impian yang menjadi kenyataan.”

Puteri Madura Raden Ajeng Handaya yang semula meragukan cinta Pangeran, akhirnya jatuh hati. Bedhaya Duradasih menjadi saksi perkawinan Pangeran Arya Adipati Amangkuregara dengan puteri Madura. Setelah menikah, sang pangeran di kenal dengan nama Sinuhun Paku Buwono IV, pewaris tahta dinasti Surakarta. Sedangkan istrinya, Raden Ayu Handaya bergelar BRAy. Adipati Anom.

Kelembutan dan gemulai para penari dalam membawakan Tari Bedhaya Duradasih, tari pusaka Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang dipertunjukkan di Gedung Kesenian Jakarta, 11 Mei 2016. foto: arum sato
Kelembutan dan gemulai para penari dalam membawakan Tari Bedhaya Duradasih, tari pusaka Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang dipertunjukkan di Gedung Kesenian Jakarta, 11 Mei 2016. foto: arum sato
Selain mengandung nilai sejarah, tari bedhaya juga memiliki nilai spiritual dan falsafah kehidupan yang tinggi. Itu sebabnya tari bedhaya mempunyai ciri istimewa. Pada setiap penampilan tari bedhaya, diiringi alat musik khusus yang disebut kemanak, sepasang wadira/alat musik berbentuk buah pisang, dengan lubang resonansi yang memanjang. Kemanak terbuat dari dari logam perunggu.

Ciri umum tari Bedhaya Duradasih adalah selalu dipentaskan oleh 9 orang penari putri, dengan kualitas gerak dan halus cenderung lembut. Masing-masing penari mempunyai nama-nama tertentu dalam komposisinya yaitu: endhel ajeg, batak gulu, dhadha, apit ngarep, apit mburi, apit, meneng, endhel weton serta buncit raja. 9 penari tersebut merupakan simbol formasi arah mata angin, dan juga 9 organ vital tubuh manusia. Semua itu menjadi simbol persatuan dan harmoni dari jagad gedhe dan jagat alit.

Versi lain menyebutkan bahwa jumlah penari merupakan lambang dari 9 Wali atau Wali Songo. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, setiap tari bedhaya dipertunjukkan maka dipercaya Kanjeng Ratu Laut Kidul, Penguasa Pantai Selatan akan hadir dalam upacara dan ikut menari sebagai penari ke-10.

Pertunjukan suguhan ke-lima yaitu Bedhaya Diradameta, dari Pura Mangkunegaran Surakarta Hadiningrat.

Penampilan 7 penari pria dalam membawakan Tarian Bedhaya Diradameta di Gedung Kesenian Jakarta, 11 Mei 2016. Foto: arum sato
Penampilan 7 penari pria dalam membawakan Tarian Bedhaya Diradameta di Gedung Kesenian Jakarta, 11 Mei 2016. Foto: arum sato
Bedhaya Diradameta merupakan salah satu monumen perjuangan Raden Mas Said (Pangeran Sambernyawa) yang berada Hutan Sitakepyak, sebelah selatan Rembang, Jawa Tengah. Nama Diradameta mengungkapkan sepak terjang Pangeran Sambernyawa beserta prajuritnya dalam menghadapi serangan dan kepungan Belanda. Di ibaratkan bagai gajah mengamuk. Dalam bahasa Jawa, dirada berarti gajah, meta berarti mengamuk.

Tari ini tidak lagi disajikan selama sekitar 250 tahun. Upaya rekonstruksi dilakukan pada 2006 selama sekitar setahun. Dan bisa dipentaskan kembali pada 17 Maret 2007, bertepatan dengan peringatan Hadeging Praja Mangkunegaran yang ke-250 tahun di Pendhapa Agung Mangkunegaran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun