Mohon tunggu...
Arum Sato
Arum Sato Mohon Tunggu... content writer -

pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Lima Tarian Klasik Keraton dalam Langen Beksa Adiluhung Keraton Nusantara

22 Mei 2016   16:46 Diperbarui: 23 Mei 2016   22:27 1574
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tiga putri penari Legong Keraton Asmarandana, dengan pakaian khas keraton Bali. Ketiganya merupakan sepupu, cucu dari Anak Agung Anglurah Djelantik, Raja Karangasem terakhir. Kanan-kiri: Ayu Kusuma Arini (penari legong), Ayu Bulantrisna Djelantik (penari Condong), dan Ayu Manik Ambharwati (penari Legong). Foto: arum sato (repro booklet acara)

Tarian Srimpi Pandhelori ditampilkan oleh empat penari putri, melambangkan ke-empat unsur: api, udara, air dan tanah. Foto: arum sato
Tarian Srimpi Pandhelori ditampilkan oleh empat penari putri, melambangkan ke-empat unsur: api, udara, air dan tanah. Foto: arum sato
Beksan Srimpi Pandhelori karya Kanjeng Sultan Hamengkubuwana VIII (1921-1939), merupakan tarian sakral, karena hanya digelar di dalam lingkungan keraton dengan waktu tertentu. Juga, dalam pelaksanaannya, tarian ini memerlukan berbagai persyaratan yang unik, untuk mencapai tataran penyajian etika dan estetika yang tinggi. Bahkan dulu, menjelang pementasan, penarinya pun harus melakukan ritual spiritual dengan puasa, bebersih diri lahir batin karena akan mengemban tugas suci. Dalam perkembangan zaman, Tari Srimpi ini diperbolehkan dipentaskan di luar tembok keraton dengan durasi yang lebih singkat namun tak merubah esensi dan makna dari tarian tersebut.

Beksan Srimpi Pandhelori diambil dari epos Carios Menak yang mengisahkan cerita dari Persia atau Arab. Menceritakan tentang perang tanding antara Dewi Kadarwati dari Negara Koparman melawan Dyah Ayu Ngumyun Madikin, seorang putri dari Negara Ngambarkustup. Keduanya sama-sama tangguh dan sakti (sami kaprawiranipun, Jawa). Dalam peperangan ini tidak ada yang kalah dan tak ada yang menang, namun berdua bersatu dan sepakat mengabdi setia kepada Wong Agung Menak, Tiyang Ageng Jayengrana. Hal ini diceritakan dalam syair vokal (gerongan) pada alunan gendhing yang mengiringi tarian ini.

Suguhan tarian ke-dua yaitu, Lelangen Beksan Pitutur Jati dari Pura Pakualaman Ngayogjakarta Hadiningrat.

Lemah gemulai penari dalam menampilkan Lelangen Beksan Pitutur Jati dalam upaya melestarikan budaya leluhur khususnya keraton. Foto: arum sato
Lemah gemulai penari dalam menampilkan Lelangen Beksan Pitutur Jati dalam upaya melestarikan budaya leluhur khususnya keraton. Foto: arum sato
Lelangen Beksan Pitutur Jati merupakan penggalian kearifan nilai-nilai kultural yang tertuang dalam naskah Serat Piwulang Estri serta Langen Wibawa. Serat Piwulang Estri merupakan naskah tuntunan yang disampaikan oleh Sri Paku Alam I (1813-1829) kepada putra mahkota, yaitu BPH Suryaningrat yang kemudian bertahta dengan gelar Sri Paku Alam II (1829-1858).

Pitutur atau piwulang di dalam Serat Piwulang Estri merupakan ajaran atau tuntunan sifat dan sikap luhur dan ideal bagi perempuan. Ajaran dan tuntunan ini tidak hanya berlaku bagi perempuan, tetapi relevan bagi masyarakat pada umumnya sampai sekarang. Karenanya, tarian ini ditampilkan oleh perempuan dan laki-laki. Empat penari perempuan berkonsep srimpi yang terinspirasi dari Langen Wibawa, yang berasal dari masa Sri Paku Alam IV (1864-1878) dan Sri Paku Alam V (1978-1900).

Konsep srimpi yang sarat simbol dan pengendalian diri dipadupadankan dan luluh dengan kegagahan beksan tiga laki-laki. Alunan sekar mijil yang mengiringi diharapkan pula dapat mempresentasikan pitutur luhur yang dapat dijadikan tuntunan dalam menjalani kehidupan.

Tarian Legong Keraton Asmarandana dari Puri Karangasem Bali menjadi suguhan ke-tiga.

Tiga putri penari Legong Keraton Asmarandana, dengan pakaian khas keraton Bali. Ketiganya merupakan sepupu, cucu dari Anak Agung Anglurah Djelantik, Raja Karangasem terakhir. Kanan-kiri: Ayu Kusuma Arini (penari legong), Ayu Bulantrisna Djelantik (penari Condong), dan Ayu Manik Ambharwati (penari Legong). Foto: arum sato (repro booklet acara)
Tiga putri penari Legong Keraton Asmarandana, dengan pakaian khas keraton Bali. Ketiganya merupakan sepupu, cucu dari Anak Agung Anglurah Djelantik, Raja Karangasem terakhir. Kanan-kiri: Ayu Kusuma Arini (penari legong), Ayu Bulantrisna Djelantik (penari Condong), dan Ayu Manik Ambharwati (penari Legong). Foto: arum sato (repro booklet acara)
Legong, atau disebut dengan istilah Legong Keraton, adalah salah satu Legong klasik yang berhasil diselamatkan dan dipelihara oleh para Empu tari Bali. Istilah keraton diawali ketika Raja Karangasem Bali berkunjung beberapa kali mengunjungi Keraton Mangkunegaran di Solo pada kurun waktu 1920-1937. Dalam setiap kunjungannya Raja selalu membawa serta tarian Legong.

Legong Keraton Asmarandana, tarian ini khas dengan busana keemasan dengan dua rangkaian bunga pada mahkotanya (kepala penari), yang begetar pada setiap gerakan kepala dan bahu. Bagian yang sangat bermakna adalah Kipas dna Lamak. Lamak berbentuk persegi panjang yang menjuntai di depan dada ke bawah. Lamak juga berarti alas sajian dalam upacara Bali. Selain bersifat dekoratif, Lamak pada Legong, walaupun non-sakral, tetap merupakan sesajian atau pengungkapan rasa syukur atas anugrahNYA.

Penari di depan sedang memainkan peran sebagai penari Condong, dan di akhir peran berubah menjadi Dewa Shiwa yang murka. Foto: arum sato
Penari di depan sedang memainkan peran sebagai penari Condong, dan di akhir peran berubah menjadi Dewa Shiwa yang murka. Foto: arum sato
Walau tarian ini dibawakan oleh perempuan, setelah masuk bagian dramatiknya, setiap penari bisa berubah peran. Setelah bagian pembukaan oleh penari yang biasa disebut tari Condong, maka dua penari Legong berubah peran menjadi Dewa Asmara (Kama) dan istrinya, Dewi Ratih. Dalam tariannya, Dewa Asmara dan Dewi Ratih menggambarkan drama cinta, tugas dan kesedihan yang dialami pasangan tersebut. Dewa Asmara mendapat tugas berbahaya, yaitu membangunkan Dewa Shiwa yang sedang bertapa. Mengetahui hal tersebut, Dewi Ratih ingin bunuh diri namun berhasil dihalangi oleh Dewa Asmara. Pada akhir kisah, mereka berdua terbakar api amarah Dewa Shiwa yang merasa terusik dari pertapaannya.

Dewa Shiwa bersedih ketika menyadari apa yang terjadi. Tak ada yang dapat dilakukannya. Lalu, Dewa Shiwa menyebarkan abu mereka ke hati menusia sehingga cinta asmara mereka tetap hidup selamanya di dalam hati manusia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun