Mohon tunggu...
Arum Sato
Arum Sato Mohon Tunggu... content writer -

pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Jingga: Ada Harapan dan Warna Kehidupan di Balik Kegelapan

21 Februari 2016   17:17 Diperbarui: 8 Juni 2017   22:53 659
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Jingga, Nila dan Magenta yang diperankan oleh Hifzane Bob, Hany Valery dan Aufa Assagaf dalam film “Jingga.” Saksikan di bioskop kesayangan Anda serentak 25 Februari 2016. Foto: setyaningrum"][/caption]Menjadi tunanetra, tak berarti dunia kiamat. Bahwa kehidupan manusia tidak terhenti hanya karena tidak bisa melihat. Dengan keterbatasannya, mereka akan hidup terus, menikah serta mempunyai keturunan dan berkarya. Sebuah optimisme hidup dari seorang Y.Tribagio, M.Pd, Ketua Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni).

Tri Bagio adalah sosok yang menjadi bagian dari  Jingga, film terbaru garapan Lola Amaria. Beliau adalah seorang konselor di Sekolah Luar Biasa Negeri (SLBN) Bandung, yang sedang menyelesaikan S3 Psikolog di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Beliau sendiri adalah seorang tunanetra. Selama setahun penuh, Lola Amaria bolak-balik Jakarta-Bandung untuk riset tentang tunanetra dibantu oleh Tribagio.

[caption caption="Sosok yang menginspirasi Lola Amaria dalam menggarap film Jingga, Tribagio. Foto: setyaningrum"]

[/caption]

Di bandingkan dengan film remaja lainnya, ada yang berbeda dari film remaja pertama besutan Lola Amaria ini. Isu dan pemeran adalah yang paling kentara. Lola Amaria mengangkat cerita remaja berkebutuhan khusus yaitu tunanetra, sekaligus memakai pemeran baru di dalamnya.

“Benar-benar baru. Ada pemain yang baru main film untuk pertama kalinya, di film ini. Ini untuk menguatkan cerita itu sendiri, tentang tunanetra. Kalau saya menggunakan artis popular, image tunanetra pasti gak dapet,” jelas Lola usai screening film Jingga di Epicentrum XXI, Kuningan Jakarta Selatan.

Adalah Jingga (Hifzane Bob), Nila (Hany Valery), Marun (Qausar HY), dan Magenta (Aufa Assagaf). Nila buta sejak lahir karena virus rubella dan toksoplasma. Sedangkan Marun kehilangan penglihatan akibat paparan limbah merkuri dari lingkungan tempat tinggalnya, yang merupakan sebuah kawasan industri. Magenta mengalami kebutaan sejak balita akibat salah obat yang mengakibatkan step hingga buta total.

Jingga sendiri adalah anak pasangan Ireng (Ray Sahetapy) dan Fusia (Keke Soeryokusumo) yang sedari kecil memiliki penglihatan kurang (low vision). Dan Jingga kehilangan penglihatan total saat remaja, ketika sebuah pukulan keras menghantam mata kirinya dan merusak syaraf matanya. Hingga Jingga dewasa, Ireng tidak bisa menerima kebutaan anak sulungnya tersebut.

Lalu Jingga di sekolahkan di sekolah khusus tunanetra oleh ibunya, Fusia. Di sekolah khusus itulah pernak-pernik kehidupan Jingga bertambah. Bertemu dengan Nila, Marun dan Magenta membuat warna beda bagi Jingga. Persahabatan yang di warnai semangat, harapan, cinta segitiga, dan cemburu mewarnai film ini.

Selama ini kita, atau saya pribadi, mengira bahwa kehidupan para tunanetra tersebut identik dengan gelap. Tidak bisa melihat apa-apa kecuali hitam. Ternyata itu salah. Kehidupan teman-teman tunanetra ini lebih berwarna dari orang normal. Meski saya pun mengerti, tak mudah menjalani hidup tanpa penglihatan.

“Di antara mereka sendiri berbeda dalam melihat dunia tanpa cahaya tersebut. Ada yang bisa melihat kuning, hijau, merah atau pun putih. Itu sebabnya nama ke-empat tokoh tersebut menggunakan nama warna,” ujar Lola lebih lanjut.

[caption caption="Foto bersama usai pers conference di Epicentrum XXI, Kuningan, Jakarta Selatan, 18 Fbruari 2016. (bawah) kiri ke kanan : Hany Valery, Lola Amaria, Ray Sahetapy, Tri Bagio, Joshua Pandelaki. (atas) kiri ke kanan: Hifzane Bob, Adik Jingga, Qausar HY, Aufa Assagaf, Amalia TS dan Isa Raja Lubis. Foto: setyaningrum"]

[/caption]

Lalu bagaimana mereka melihat dunia tanpa penglihatan dan mengubah dunianya menjadi lebih berwarna? Mereka melatih indera lainnya. Indera peraba, pendengaran dan penciuman adalah “mata” bagi penyandang tunanetra. Mereka melihat dengan meraba, mendengar dan membaui.

Mereka bisa melihat wanita cantik atau pria ganteng dari suara dan wangi tubuhnya. Mereka mengenali suatu tempat dengan indera peraba dan pendengarannya. Dan yang pasti, ingatan mereka kuat. Mereka lebih “awas” dari kita yang normal. Mereka istimewa.

Dan kondisi fisik sesorang bukan penghalang menuju masa depan. Mereka tidak pasrah pada nasib dan diam tanpa berusaha. Mereka sama dengan kita yang normal, punya keinginan dan harapan. Dalam film ini ditunjukkan bagaimana ke-empat remaja tersebut berlatih keras untuk menjadi juara dalam sebuah kompetisi musik. Dan berhasil! Meski harus kehilangan Marun yang harus kalah dengan penyakit kankernya.

Mengambil lokasi shooting di Bandung, film ini terasa sejuk, dan menginspirasi. Dan sangat layak untuk di tonton. Akan hadir di bioskop seluruh Indonesia pada 25 Februari 2016 mendatang. Luangkan waktu untuk menontonnya, ya. Apik dan recommended banget. Eh tapi..untuk yang mellow jangan lupa bawa tissue, yaa. Atau setidaknya bawa pundak yang bisa buat nyembunyiin sembabnya. Hahaha.

Anyway, sukses untuk Lola Amaria. Terus warnai dunia perfilman tanah air dengan film-film yang menginspirasi. Sukses buat Jingga. Dan maju terus perfilman Indonesia!

Oleh Setyaningrum

Jakarta, 21 Februari 2016

Pesan moral tersirat: Surya Jingga adalah nama pemeran utama film Jingga. Ibaratkan sebuah tata surya, Jingga adalah warna sunset. Seperti kata Lola Amaria di akhir jumpa pers: jangan pikir ada sunset kalau mataharinya tidak terbit. Semua bermula dari keluarga. Matahari adalah keluarga, sumber energi sekaligus pangkal segala persoalan. Bila keluarga aware, sosok Jingga, Nila, Marun dan Magenta tak akan ada. Mereka akan lahir sebagai anak yang normal. Untuk itu, mari melengkapi diri dengan pengetahuan dan kepedulian untuk kelangsungan hidup anak cucu kelak. Supaya tak ada lagi Marun, Nila, Magenta ataupun Jingga. Biarkan anak-anak kita hidup normal tanpa kita ciptakan “sakit” yang menjadi beban seumur hidupnya. Film Jingga ini adalah perjuangan hidup anak-anak “sakit” dalam menjalani hidup mereka,  dengan penuh semangat dan pantang menyerah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun