Mohon tunggu...
Arum Sato
Arum Sato Mohon Tunggu... content writer -

pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Potret Tujuhbelasan di Jalanan, Sebelum Agustus Menjelang

17 Agustus 2015   03:35 Diperbarui: 17 Agustus 2015   03:35 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suasana di samping Masjid Agung Baitussalam, Purworkerto pada akhir Juli 2015, dipenuhi penjual bendera dan umbul-umbul menyambut Kemerdekaan Republik Indonesia ke-70. Begitu cerah, begitu meriah. Foto: koleksi pribadi

 

Oleh Setyaningrum

Boleh saja, ukuran Sang Dwiwarna tersebut tidak sesuai standar aturan. Ada yang besar, ada pula yang kecil. Beraneka ukuran ditampilkan, ada yang melebar, namun banyak pula yang memanjang. Di sepanjang jalanan beberapa jalan, merah putih kokoh berkibar. Meriah tujuhbelasan! Gegap gempita memperingati Hari Kemerdekaan Republik Indonesia.

Bahkan sebelum bulan kemerdekaan tersebut datang, merah putih sudah berkibar di jalanan. Sebagai contoh saja, di sepanjang Jalan Jendral Sudirman, Porwokerto. Para pengeruk rupiah, dari Sang Merah Putih tersebut, sudah siap menyambut tujuhbelasan. Kebetulan, pada akhir bulan lalu, 29 Juli 2015 tepatnya, saya berkesempatan menghabiskan sedikit waktu di alun-alun Purwokerto. Selepas subuh saya sudah berjalan menyusuri trotoar menuju pusat kota tersebut.

Waktu itu, di sepanjang jalan yang saya lalui, jalan Jendral Sudirman, di beberapa titik sudah terlihat aktivitas para penjual replika Simbol Negara tersebut. Ada yang sudah terpasang dibambu memanjang, ada pula yang masih terlipat rapi dalam bungkus plastik. Semakin bertambah semarak ketika mendekati alun-alun, tepatnya di pertigaan depan Masjid Agung Baitussalam.

Dari depan Masjid Agung Baitussalam tersebut, saya bisa mengedarkan pandangan, menelusuri bangunan sekitar alun-alun tanpa harus mengitarinya langsung. Tak ketinggalan air mancur yang berada di sisi selatan alun-alun. Semua terlihat dengan jelas. Meskipun kala itu masih pagi, dan sempat pula ditertutup kabut tebal yang turun (dalam istilah jawanya pedut).

Suasana di depan Lapas (Lembaga Permasyarakatan) Purwokerto pada akhir Juli 2015. Foto: koleksi pribadi

Tepat di sebelah selatan masjid, di sepanjang jalan Jendral Sudirman, berderet Sang Dwiwarna tersebut di bentangkan oleh beberapa penjual, di kedua sisi jalan. Tak hanya Sang Merah Putih, beragam warna dan jenis umbul-umbul lain juga dibentangkan. Hari masih pagi, namun mereka sudah siap untuk mengais rezeki, dari simbol Ibu Pertiwi.

Di sisi jalan seberang masjid, adalah sebuah lapas, juga tak kalah meriah dengan berderet merah putih di bentangkan depan pintu masuknya. Gambaran yang ironi, di luar pagar lapas warga sedang gembira menyongsong dan merayakan kemerdekaan, namun di dalam pagar banyak warga yang terpasung kemerdekaannya.

Merah Putih dalam Sejarah

Dan entah sejak kapan, warna merah putih telah dan selalu digunakan dalam selamatan pada tradisi jawa. Ibu saya, rutin membuat selamatan weton untuk bapak saya, sebagai ungkapan rasa syukur kepada Sing Nggawe Urip, dan sekaligus sebagai doa supaya dalam mencari nafkah keluarga, bapak senantiasa dalam lindungan-Nya.

Warna merah putih (dalam bahasa Jawa disebut abang putih) di wujudkan dalam bentuk makanan yaitu jenang atau bubur. Jenang abang dan jenang putih. Makanan berbahan dasar tepung beras tersebut selalu ada dalam selamatan weton. Ada juga dalam selamatan untuk wanita hamil usia kehamilan menginjak empat bulan.

Jenang abang, terbuat dari jenang putih yang diberi gula aren atau bisa juga gula merah. Nah, jenang putih sendiri adalah jenang sumsum. Satu lagi jenang simbol merah putih, yaitu jenang sengkolo yang menjadi bagian dari selamatan weton. Ada dua jenis jenang sengkolo. Pertama adalah jenang merah yang atasnya diberi sedikit jenang putih, dan jenang putih yang diatasnya diberi jenang merah.

Menurut ibu saya, makna dari jenang sengkolo adalah sebagai harapan untuk bisa terlepas dari segala mara bahaya dan juga kesialan dalam mengarungi kehidupan. Itu makanya, ibu bapak tidak membolehkan kami mengonsumsinya. Ketika ditanyakan alasannya, beliau hanya bilang nggak boleh, itu juga yang dipesan oleh mbah-mbahnya dulu. Makanya ibu selalu membuat jenang sumsum agak banyak. Dengan di tambahi juruh (kuah dari gula aren), kami biasa menyantapnya.

70 Tahun Merah Putih

Hawa Peringatan Kemerdekaan Indonesia kali ini lebih hangat. Apa karena angka genap, saya kurang paham. Namun yang jelas, di mana-mana, di hampir semua jalanan terpasang umbul-umbul merah putih, dan gang-gang di Jakarta terpasang replika-replika mini Sang Dwiwarna, berbahan kain maupun plastik. Luapan kegembiraan kah? Kegembiraan atas apa? Saya masih mencari jawabannya.

Ketika sudah 70 tahun kemerdekaan di raih Indonesia. Namun masih banyak rakyatnya yang belum sejahtera. Masih banyak persoalan-persoalan teknis yang belum terurai. Persatuan bangsa masih saja tercerai-berai. Sampai kapan kesejahteraan dan kemakmuran seluruh rakyat Indonesia tercapai. Entahlah.

Namun, untuk menambah kehangatan peringatan kali ini, perkenankan saya ikut memberi selamat, kepada tanah air pertiwi ini. Juga kepada seluruh rekan Kompasianer, Selamat merayakan Kemerdekaan Indonesia Tercinta yang ke-70. semoga Indonesia semakin membaik. (Apakah sedang sakit? Entahlah)

Jakarta, 17 Agustus 2015

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun