Mohon tunggu...
Arum Sato
Arum Sato Mohon Tunggu... content writer -

pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Dengan Kata, Berbuat untuk Indonesia Melalui Kompasiana

13 Juli 2015   06:45 Diperbarui: 13 Juli 2015   06:45 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dari beberapa kali mengikuti acara offline Kompasiana, banner seperti foto di atas baru sekali ini saya lihat. Saya melihatnya di depan Restoran Parigi di Hotel Santika BSD, Tangerang Selatan, pada saat mengikuti Kompasiana Nangkring bersama BKKBN. Entah saya yang kurang up date, baru kali ini melihatnya, atau banner tersebut memang baru. Pesan bijak oleh si putih Kriko tersebut menggelitik saya untuk sekedar menuliskan di sini. Ubah Indonesia Lewat Kata-kata. Foto: dokumen pribadi

Kata adalah segalanya. Dengan 45 kata, Soekarno-Hatta memproklamirkan Indonesia. Para penyair, menyebut kata adalah napas kehidupan. Pada deretan kata lah penyair hidup. Meski faktanya kata tidak selalu dimaknai sama.

Ada dua dimensi tentang kata. Orang mengatakan bahwa who’s the man behind the gun, senjata ditentukan oleh siapa yang memegang pelatuknya. Demikian pula kata. Kata tergantung dari siapa yang menuliskannya. Tapi di sisi lain, kata juga tergantung siapa yang membacanya. Boleh jadi kata yang dituliskan oleh seorang penulis dimaknai berbeda oleh orang yang membaca. Itulah kekayaan kata. Dan, karena kekayaan kata itu lalu muncul istilah tafsir. Orang bisa menafsirkan, bisa memahami kata yang sama tapi banyak orang yang memaknai berbeda. Itulah keragaman kata. Kata yang sama yang dimaknai berbeda-beda.

Bila kata telah diucapkan, maka dia tidak menguasai ruang, juga tidak menguasai waktu. Tapi ketika kita menuliskan kata-kata, maka kata-kata yang kita tuliskan itu terdokumentasikan. Kata tertulis menguasai ruang karena bisa menjangau ruang yang luas, wilayah tak terbatas. Kita menuliskan di Indonesia, pada saat yang bersamaan orang di belahan dunia yang lain bisa membacanya. Kata tertulis menguasai waktu. Orang yang tidak berkesempatan membacanya saat ini, mungkin tahun depan dia masih tetap bisa membaca yang kita tuliskan saat ini. Jadi, kata yang kita tuliskan menguasai ruang dan waktu.

Ada juga orang yang tidak yakin akan kebenaran dari kata yang ia tuliskan. Contoh, kalau kita menerima surat undangan, seringkali ada tulisan di bawahnya: maaf kalau ada kesalahan penulisan nama, gelar dan yang lain-lain. Itu menunjukkan bahwa ia tidak yakin pada kebenaran apa yang ia tuliskan tersebut.

Nah, salah satu cara untuk menguasai kata-kata adalah dengan membaca. Dengan membaca otomatis akan bertambah kosakata kita. Dan itu akan memudahkan kita untuk bisa menulis. Menulis di Kompasiana.

Lalu apa hubungannya dengan banner Kompasiana di atas dengan pembaca dan Kompasianer? Mengubah Indonesia lewat kata-kata, emang bisa? Sedangkan untuk mengubah mindset alias pola pikir seseorang melalui kata, baik lisan maupun tertulis saja susah, bagaimana kita bisa mengubah Indonesia melalui kata-kata? Seberapa ampuhnya kata-kata? Seberapa banyak kata yang diperlukan untuk mampu mengubahnya?

Ya, Kompasiana sedang menyemangati dan memacu kita, sebagai pengguna Kompasiana, untuk semakin maju dan produktif dalam menulis. Lebih banyak dan sering untuk menyiarkan kebaikan. Untuk menularkan energi positif kepada pembacanya. Dengan energi positif ini, Kompasiana yakin, bahwa kata-kata bisa mengubah Indonesia menjadi lebih baik. Dan saya pun menyakininya. Dengan kata kita bisa mengubah Indonesia. Ya, tentu saja bisa. Bahkan lewat kata kita bisa mengubah dunia. Perubahan seperti apa yang kita inginkan? Perubahan kearah yang lebih baik, tentunya. Bagaimana? Melalui tulisan yang mencerdaskan. Tulisan yang mendidik. Tulisan yang memberi arti tidak hanya kepada penulisnya, namun juga bagi pembacanya. Tulisan yang memberi semangat, informasi, atau pun sekedar pengalaman yang berguna bagi pembaca. Tulisan yang bernas, dalam skala dan kapasitas kita masing-masing sebagai Kompasianer. Kita bisa berbuat sesuatu untuk Indonesia lebih baik, dengan kata-kata.

Sebagai contoh, kita bisa menuliskan tentang suatu tempat bersejarah, yang mungkin berada dekat dengan tempat tinggal kita, atau sekedar tempat wisata bagus yang kita kunjungi namun tidak banyak orang yang tahu. Dengan kita menuliskan pengalaman tersebut melalui Kompasiana, tentu orang akan menjadi tahu tentang tempat tersebut. Dan bukan tidak mungkin orang yang membaca tulisan kita tersebut akan membuktikan lalu datang berkunjung. Dengan semakin banyak dikunjungi orang, otomatis tempat tersebut akan semakin dikenal publik. Dampaknya, akan menumbuhkan perekonomian di sekitar tempat tersebut. Transportasi dan jasa, kuliner, bahkan penginapan akan bermunculan di wilayah tersebut. Maka, roda perekonomian di tempat tersebut perlahan akan bergerak maju. Hanya dengan share pengalaman melalui tulisan. Bila itu menular di banyak tempat, bisa dibayangkan geliat kemajuan wilayah Indonesia, bukan. Mungkin tidak bisa serentak, tapi mengalir pasti.

Melalui Kompasiana Saya Belajar

Di Kompasiana sendiri, saya jarang menulis. Saya lebih aktif sebagai pembaca Kompasiana atau silent reader. Untuk beberapa tahun saya hanya menjadi pembaca Kompasiana. Hingga akhirnya saya memberanikan diri untuk bergabung dan menjadi bagian dari Kompasiana, sebagai pembaca sekaligus pengguna Kompasiana, pada akhir 2013. Setelah bergabung dan memverifikasi akun, saya pun belum menulis. Saya masih asyik menjadi pembaca Kompasiana. Dari mulai membaca artikel teman, maupun artikel orang lain. Menjadi pembaca saya pilih karena itu salah satu cara belajar yang saya lakukan untuk bisa menulis, karena memang saya tidak ada background kepenulisan sama sekali. Saya baru tergerak untuk menulis menjelang pertengahan tahun ini. Jadi, saya masih terus belajar untuk bisa menulis, menulis dengan baik.

Sebagai pembaca, banyak hal yang mempengaruhi kita untuk membaca sebuah tulisan. Bisa karena kenal penulisnya, bisa karena harapan ada ilmu yang bisa didapat dari suatu tulisan, atau pun karena judul suatu tulisan. Untuk alasan terakhir itu lebih banyak saya lakukan.

Tak sedikit dan sering saya meng-klik suatu artikel di Kompasiana maupun di media lain karena judulnya. Terdorong oleh rasa ingin tahu dan penasaran, mengulas tentang apa sih ini. Namun tak semua rasa penasaran tersebut menghasilkan jawaban yang memuaskan. Kadang, saya membuka artikel dengan judul yang sensasional, yang menarik, dan tak jarang juga yang bombastis, tapi tidak mencerahkan. Tidak ada sesuatu yang bisa saya petik dari artikel tersebut.

Tak jarang saya malah bingung setelah membaca suatu artikel. Entah karena cara menuliskan, atau hal-hal yang disampaikan tidak informative. Kadang malah ada yang sampai saya baca dua kali untuk memahami isi/pesan dari artikel tersebut. Saya seperti gagal paham, gitu.

Sebenarnya, saya sih juga nggak maruk bacaan. Kalau sekiranya tidak mengerti mending saya hindari dulu, tidak usah di baca, daripada menambah beban otak. Saya akan baca tulisan tersebut kalau pikiran sudah siap untuk menyerap isinya. Istilah saya, tidak mengambil makanan bila saya tidak mampu mengunyah dan mencerna makanan tersebut.

Namun, sering juga saya menemukan tulisan dengan judul yang sederhana, cenderung biasa malahan, tapi sangat informative dan mencerdaskan. Banyak ilmu yang bisa diserap di dalamnya. Dan kalau menemukan tulisan yang seperti itu rasanya seperti menemukan sebongkah emas. Senang banget karena mendapat ilmu gratis. Ibarat dapat makanan favorit yang enak, lezat dan gratis. Duh, senengnya.

Dari Kompasiana pula, saya bisa melihat belahan bumi dari sisi yang lain. Dengan aneka warna tiap sisinya. Melalui Kompasiana saya melihat keragaman Indonesia, wisata alamnya, aneka ragam suku penghuni beserta adat kebudayaan yang mengikutinya. Harapan saya kelak bisa melihat dan merasakan keragaman Nusantara secara nyata. Seperti yang sudah saya lihat di Kompasiana melalui sharing dari Kompasianers. Mudah-mudahan.

Terima kasih banyak kepada Kompasianer yang sudah berbagi pengalaman dan ilmu melalui tulisan di Kompasiana. Pengalaman dan ilmu yang telah menjadi guru sekaligus pegangan bagi pembacanya. Terima kasih Kompasiana, telah menyediakan tempat untuk belajar dan berbagi.

 

Jakarta, 13 Juli 2015

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun