Mohon tunggu...
Arum Sato
Arum Sato Mohon Tunggu... content writer -

pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Money

Karut Marut Industri Bauksit Nasional ditengah Hilirisasi Industri Mineral

23 Juni 2015   21:35 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:38 1178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber foto: bauxite.world-aluminium.org

Oleh: Setyaningrum

Untuk keduakalinya Kompasiana sukses menggelar Seminar Nasional, dengan tema kali ini "Kondisi Terkini, Harapan dan Tantangan di Masa Depan Industri Pertambangan Bauksit dan Smelter Alumina Indonesia" pada Senin, 25 Mei 2015 di Jakarta.

Hadir pada kesempatan itu sebagai pembicara, yaitu: Pengamat Pertambangan Mineral dan Batubara yang juga Mantan Dirjen Minerba, Ir. Simon F. Sembiring, Pakar Ekonomi, Faisal Basri, Pakar Metalurgi UI, Prof. Dr. Ing. Bambang Suharno, Ketua Asosiasi Pengusaha Bauksit dan Bijih Besi Indonesia (APB3I) Erry Sofyan, dan Kepala Seksi Pengawasan Operasi Produksi Mineral, Andri Budhiman Firmanto.

Seminar yang bertujuan untuk membedah dan menambah wawasan publik tentang industri pertambangan bauksit dan smelter alumina di Indonesia tersebut dipandu oleh Moderator cantik, Cindy Sistyarani. Diadakan pada Senin, 25 Mei 2015 di Auditorium Cengkeh, Hotel Menara Peninsula, S. Parman, Slipi, Jakarta Barat, dan dihadiri kurang lebih 100 peserta, yang terdiri dari Kompasianer (blogger Kompasiana) dan masyarakat umum.

Kiri-kanan: Pepih Nugraha, Cindy Sistyarani, Andri Budhiman Firmanto, Erry Sofyan, Faisal Basri, Bambang Suharno, Simon F. Sembiring, dan Edi Taslim. Sumber foto: Kompasiana

Tentang bauksit

Bauksit pertama kali ditemukan pada tahun 1821 oleh ahli geologi Perancis bernama Pierre Berthier di desa Les Baux, di bagian selatan Perancis. Pada tahun 1861, ahli kimia Perancis, Henri Sainte-Claire Deville menamai mineral temuan Pierre Berthier tersebut Bauksit, sesuai dengan nama daerah dimana ia ditemukan pertama kali.

Bauksit merupakan bijih aluminium, adalah segumpalan tanah liat yang merupakan sekelompok aluminium oksida dan hidroksida, yang terdiri atas Gibbsite, Boehmite, dan Diaspore. Gibbsite adalah aluminium hidroksida (Al (OH) 3), sedangkan Boehmite dan Diaspore keduanya aluminium oksida-hidroksida (Alo (OH)). Perbedaan utama antara dua terakhir adalah bahwa diaspore memiliki struktur kristal yang berbeda untuk Boehmite. Perbedaan komposisi bijih dan kehadiran besi, silikon dan titanium kotoran mempengaruhi pengolahan selanjutnya mereka. Secara umum bauksit mengandung Al2O3 sebanyak 45 – 65%, Silikon dioksida (SiO2) 1 – 12%, Ferioksida (Fe2O3) 2 – 25%, TiO2 >3%, dan H2O 14 – 36%.

Secara kasat mata, batuan Bauksit dapar dilihat ditemui dengan beragam warna, yang sesuai dengan mineral yang dikandungnya, antara lain berwarna krem, kuning, putih, abu-abu, coklat, coklat kemerahan, dan merah muda.

Bauksit terbentuk dari batuan sedimen, batuan beku, batu lempung, lempung dan serpih. Batuan-batuan tersebut akan mengalami proses lateritisasi/pelapukan kemudian mengalami proses dehidrasi dan akan mengeras menjadi Bauksit. Bauksit banyak ditemukan di negara-negara tropis dan subtropis. Bauksit dapat ditemukan dalam lapisan mendatar pada kedalaman tertentu, biasanya banyak terdapat di hutan biomas, oleh karena itu penambangan Bauksit biasanya merusak hutan.

Indonesia kaya sekali akan mineral Bauksit. Menurut Ketua Asosiasi Pengusaha Bauksit dan Bijih Besi Indonesia (APB3I), Erry Sofyan, cadangan Bauksit Indonesia saat ini sekitar 3,2 miliar ton, di samping sumber daya Bauksit yang diperkirakan mencapai 7,55 miliar ton.

Potensi dan cadangan endapan Bauksit tersebar di beberapa wilayah di Indonesia antara lain di Sumatera Utara, Bauksit terdapat di kawasan Kota Pinang. Di Riau, Bauksit banyak ditemukan di Pulau Bulan, Pulau Bintan, Pulau Kijang, dan Pulau Lobam. Di Kalimantan Barat, Bauksit terdapat di Tayan Menukung, Sandai, Pantus, Balai Berkuah, Kendawangan dan Munggu Besar. Di Bangka Belitung, Bauksit terdapat di daerah Sigembir. Hingga saat ini penambangan Bauksit di Pulau Bintan adalah satu-satunya penambangan Bauksit terbesar di Indonesia.

Proses pengolahan dan pemurnia bauksit adalah Aluminium. Sumber foto: APB3I

Dari batuan Bauksit bisa menghasilkan dua tipe Alumina, yaitu: Smelter Grade Alumina (SGA) dan Chemical Grade Alumina (CGA). 90% pengolahan bijih bauksit di dunia dilakukan untuk menghasilkan Smelter Grade Alumina (SGA) yang selangkah lagi akan menghasilkan Aluminium murni. Nama lain Alumina adalah Aluminium oksida.

Dalam prosesnya, Bauksit akan diolah menjadi Alumina, yang selanjutnya diolah menjadi Aluminium. Karena sifatnya yang ringan dan tahan api, Aluminium mempunyai banyak kegunaan. Mulai alat dan perkakas rumah tangga, hingga sebagai bahan untuk membuat pesawat.

Lalu bagaimana kondisi Bauksit ekspor kita? Bauksit yang selama ini di ekspor Indonesia, berjenis MGB, Metallurgical Grade Bauxite. MGB merupakan bahan baku SGA. SGA mempunyai kadar Aluminium oksida sebesar 98,5%. CGA berkadar Aluminium oksida 90%. Sedangkan bijih bauksit rata-rata berkadar Aluminium oksida 30-40 %. MGB yang diekspor Indonesia selama ini, menurut pakar LAPI ITB, telah melalui proses crushing, washing, screening, dan drying, yang otomatis telah meningkatkan kadar Aluminium oksida (Al203) dari 30-40% menjadi 47%. Menurut pakar LAPI ITB, berdasarkan penelitian tersebut Bauksit dari Indonesia layak disebut Bauksit olahan, bukan lagi Bauksit mentah atau ORE.

Larangan Ekspor dan Pabrik Pengolahan Bauksit

Mantan Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas, Faisal Basri, dalam Seminar Naional di Hotel Peninsula, Jakarta, secara blak-blakan menuding mantan Menteri Koordinator Perekonomian, Hatta Rajasa sebagai biang keladi terhadap kacau-balaunya industri bauksit nasional saat ini.

Bermula dari pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, melalui Menko Ekonomi , Hatta Rajasa, melarang ekspor mineral mentah (raw material). Saat itu, Hatta Rajasa mengatakan bahwa pelarangan ekspor mineral mentah sebagai bentuk pelaksanakan amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara (Minerba) yang mewajibkan penambahan nilai tambah pada mineral mentah.

Dalam rangka memanfaatkan dan mengelola sumberdaya mineral, Pemerintah RI telah menerbitkan UU No. 4 Tahun 2009, tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Guna melaksanakan Undang-Undang tersebut, pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden No. 23 Tahun 2010, dan baru menindaklanjuti dengan menerbitkan Permen ESDM No. 7 Tahun 2012 tertanggal 6 Februari yang melarang ekspor bijih (raw material atau ore) paling lambat 3 bulan sejak berlakunya Peraturan Menteri tersebut. Disusul kemudian dengan terbitnya Permen ESDM No.11/2012, pembolehan ekspor dengan rekomendasi menteri melalui Direktur Jenderal. Tahun 2013 pemerintah mengeluarkan lagi Permen ESDM No.20/2013 tentang pembolehan ekspor sampai dengan 12 Januari 2014. Pada 12 Januari 2014, Pemerintah menerbitkan Permen ESDM No. 1 Tahun 2014 tentang pelarangan ekspor mineral mentah. Berubah-ubah dan bertubi-tubi tentang aturan ekspor barang tambang inilah yang menjadi dasar tudingan Faisal Basri terhadap Hatta Rajasa.

Diketahui, pada Februari 2014, Hatta Rajasa sebagai Menteri Koordinator Ekonomi menjadi saksi ketika United Company RUSAL menandatangani MoU atau nota kesepahaman dengan perusahaan tambang Bauksit Indonesia, PT Arbaya Energi untuk membangun pengolahan Bauksit menjadi Alumina (smelter alumina). Rencananya smelter alumina akan dibangun di Kalimantan. CEO UC RUSAL, Oleg Vladimirovich Deripaska, mengakui bahwa salah satu syarat pembangunan pabrik pengolahan adalah pelarangan ekspor Bauksit mentah oleh Pemerintah Indonesia. Namun hingga kini, rencana UC RUSAL tersebut belum terlihat realisasinya.

Perlu diketahui, United Company RUSAL (UC RUSAL) adalah perusahaan aluminium terbesar di dunia, menyumbang hampir 9% dari produksi aluminium primer dunia dan 9% dari produksi alumina dunia. Perusahaan yang didirikan di Jersey dan berkantor pusat di Moscow tersebut telah beroperasi di 13 negara di 5 benua dan memilki lebih dari 60.000 pekerja di seluruh kantor operasinya.

Dengan terbitnya Peraturan Menteri tentang pelarangan ekspor mineral mentah (raw material) yang sudah tentu Bauksit termasuk didalamnya, dan mewajibkan penambahan nilai tambah pada mineral mentah, secara otomatis telah menghentikan proses penambangan Bauksit. Betapa tidak. Untuk memberi nilai tambah mineral mentah adalah dengan mengolahnya terlebih dulu, Para pengusaha tambang harus membangun pabrik pengolahan Bauksit yang membutuhkan dana yang tidak sedikit, bila tetap ingin mengekspor.

Dan di sisi yang bersamaan pula, perusahaan tambang dilarang mengekspor hasil tambangnya, yang hanya berupa Bauksit mentah. Pertanyaannya, dari mana perusahaan tambang mendapat dana untuk membangun pabrik pengolah bila pemasukan dari hasil ekspor tidak ada?

Dengan berhentinya operasi produksi dan ekspor Bauksit tersebut, diperkirakan negara telah kehilangan kesempatan untuk memperoleh devisa per tahun sebesar kurang-lebih Rp 17,6 trilyun , penerimaan pajak sebesar Rp 4,1 trilyun, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebesar 595 milyar. Yang lebih miris lagi, sekitar 40 ribu karyawan pertambangan telah dirumahkan, yang berarti hilangnya sumber penghidupan karyawan dan keluarganya kurang lebih 160.000 orang. Hilangnya income perusahaan yang diperoleh dari hasil penjualan Bauksit akan berakibat kebangkrutan perusahaan. Potensi kredit macet (Non Performance Loan) alat-alat pertambangan mencapai Rp. 40 Trilyun.

Hilirisasi Industri Mineral

PT. Well Harvest Winning Alumina Refinery milik Harita Group di Ketapang, Kalimantan Barat telah memulai membangun pabrik pengolah Bauksit, sejak pertengahan Juli 2013, dengan kapasitas produksi sebesar 4 juta ton SGA/tahun, nilai investasi USD 2,28 Milyar, dan progress pembangunan sampai dengan bulan Desember 2014 sudah mencapai 42,63%. Harita Prima Abadi Mineral di Kecamatan Kendawangan, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, merupakan pabrik swasta pertama di Indonesia yang memproses Bauksit menjadi alumina

Selain itu juga berdasarkan data dari Asosiasi Pengusaha Bauksit dan Bijih Besi Indonesia (APB3I), masih terdapat 4 perusahaan lain yang siap membangun pabrik pengolah Bauksit dengan kapasitas 8 juta ton SGA/tahun. Pembangunan smelter alumina tersebut membutuhkan pendanaan yang besar dan berpotensi gagal jika perusahaan tambang bauksit yang sedang dan akan membangunnya tidak memperoleh pendapatan.

Usulan-usulan terhadap Pemerintah pun semakin hari kian bergulir, untuk mensukseskan program hilirisasi, diantaranya:

* Penetapan Roadmap Industri Nasional khususnya Alumina & Aluminium.

* Penetapan kebutuhan dalam negeri dan kuota produksi dan ekspor.

* Insentif Fiskal & Non Fiskal bagi yang membangun industri: - Contoh: Ekspor hasil tambang, Tax Holiday, pembebasan pajak.

* Integrasi dan pembagian kewenangan secara tepat dan jelas. – Contoh: Kementrian ESDM untuk perihal pertambangan, dan Perindustrian untuk perihal pembangunan industri logam.

Harusnya, Pemerintah menelaah lebih dalam lagi tentang Undang-Undang Minerba, tentang hilirisasi mineral, sehingga kedepan nantinya bisa menghasilkan kebijakan-kebijakan yang tidak berat sebelah, tidak merugikan para penambang, ataupun masyarakat sekitar penambangan.

Tidak hanya dirumuskan oleh Kementerian ESDM, tetapi juga perlu melibatkan Kementerian Industri, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Perdagangan. Demi manfaat yang lebih besar bagi penerimaan negara, penyerapan tenaga kerja dan kesejahteraan masyarakat luas.

 

Jakarta, 23 Juni 2015

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun