Mohon tunggu...
Arum Sato
Arum Sato Mohon Tunggu... content writer -

pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Belajar dari Kesalahan, Teliti Ulang Bukti Pembayaran

24 April 2015   08:06 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:44 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_362434" align="aligncenter" width="600" caption="Struk pembelian atau bukti pembayaran biasanya luput dari perhatian. Tak jarang orang sudah membuangnya di tong sampah yang biasanya tersedia di depan toko dimana dia membeli barang. Umumnya mereka hanya melihat nominal uang yang dibayar, tanpa melihat daftar barang yang dibeli. Foto: koleksi pribadi"][/caption]

Oleh: Setyaningrum

Berbelanja umumnya dilakukan oleh kaum perempuan. Belanja apa saja. Bisabelanja kebutuhan sehari-hari, belanja kebutuhan sekolah anak, atau belanja kebutuhan sekunder lainnya. Pun tidak mustahil, berbelanja,juga dilakukan oleh kaum laki-laki, semisal, tukang sayur, tukang gorengan, atau mereka yang punya usaha warung makan. Rutinitas berbelanja pastinya akan dilakukan oleh mereka, entah setiap hari atau dua hari sekali, sesuai kebutuhan masing-masing.

Pun di mana biasanya transaksi dilakukan, setiap orang punya tempat favorit yang berbeda. Ada yang suka berbelanja kebutuhan sehari-hari di supermarket karena secara tempat bersih dan leluasa memilih barang, meski dengan risiko harus membayar lebih mahal. Ada juga yang lebih menyukai berbelanja kebutuhan cukup hanya di pasar tradisional. Secara tempat mungkin kurang nyaman, tapi mungkin merasa lebih mantap karena bisa menawar barang yang akan dibeli, terutama bagi ibu-ibu rumah tangga. Apapun barang yang dibeli tak lengkap rasanya kalau tidak ada tawar menawar. Ha ha ha.

Tapi bagaimana rasanya bila pas berbelanja, kita harus membayar untuk sesuatu yang tidak kita beli? Pernah suatu malam, berdua dengan teman, karena sesuatu hal yang harus dilakukan segera, kami memilih tidak langsung pulang tapi nongkrong di minimarket yang buka 24 jam. Di situ saya membeli beberapamakanan ringan dan minuman (tidak banyak sih). Selesai membayar di kasir, setelah menerima bukti pembayaran dan uang kembalian, saya segera menuju ke meja di mana teman saya sudah duduk menunggu.

Sambil teman saya mengerjakan tugas, sembari makan cemilan yang sudah dibeli, iseng saya lihat lagi struk pembelian tadi. Eh, ada satu item yang terdaftar yang tidak saya beli. Secara rupiah tidak seberapa besar sih, hanya Rp.5.500. Langsung saja saya ke kasir untuk klarifikasi. Setelah struk saya berikan dengan sedikit penjelasan, dengan segera si kasir (beda orang) mengambil uang dari laci kasir dan memberikannya kepada saya, sembari bilang “ maaf, struk saya simpan, ya”. Saya mengiyakan saja, dan menerima uang seharga barang itu.

Waktu itu kasir tidak banyak tanya, tidak pula meng-cross check dengan kasir yang mana saya bertransaksi, langsung memberikan uang seharga item tersebut. Dari sini timbul pikiran, apakah mungkin, kejadian seperti ini terjadi karena salah hitung semata? Ataukah ini murni bukan sebuah kesalahan tapi sebuah kesengajaan? Seberapa sering kesalahan seperti ini mereka lakukan? Karena logikanya, kalau kesalahan hitung ada pada kasir pertama, dengan complain dari pembeli, harusnya kasir kedua akan memanggil kasir pertama untuk mengklarifikasi. Ini kenapa kasir kedua seolah-oleh menutupi kesalahan kasir pertama? Dan pembeli dibiarkan dengan asumsi: oh, ini salah hitung, ya. Yang sebenarnya tidak demikian, tapi itu sebuah kesalahan yang disengaja.

Kalau dugaan saya itu benar, berarti antar sesama karyawan di minimarket tersebut telah berkompromi untuk menipu pembeli dengan memasukkan satu item atau bisa juga lebih ke dalam struk belanjaan pembeli. Dan saya kira, tidak setiap pembeli melakukan apa yang saya lakukan, melihat ulang bukti pembayaran.

Saya sih tidak mau berburuk sangka lebih jauh, apakah uang itu nantinya akan masuk ke kantong karyawan atau ke perusahaan tempat kerjanya. Yang saya perlu lakukan adalah membenahi diri, mendisiplinkan diri untuk meneliti kembali bukti pembayaran di mana pun saya mengeluarkan uang, membeli barang. Mungkin, kalau belanjanya di pasar tradisional, atau di kios-kios buah pinggir jalan, yang tidak mengeluarkan bukti pembayaran, saya hanya perlu sedikit mempertajam ilmu matematika, supaya tidak salah hitung dan salah kembalian. He he he

Di pasar pun, kalau kelebihan uang kembalian, besoknya kalau ke pasar lagi pasti saya datangi dan uang saya kembalikan. Saya merasa, itu rezekinya dia, bukan rezeki saya, tak sepantasnya saya menikmati rezeki yang bukan milik saya. Karena saya bisa merasakan susah payah mereka untuk mendapatkan rezeki tersebut. Tapi saya akan memperjuangkan yang memang menjadi hak saya. Hak untuk tidak membayar barang yang tidak saya beli.

Jakarta, 24-04-2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun