Mohon tunggu...
Setyani Alfinuha
Setyani Alfinuha Mohon Tunggu... -

Alumni ISHS 3 Kediri | Psikologi UIN Maliki Malang '13\r\n13410056

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

The Real Mom and the Best Wife; di Balik Kisah Habibie & Ainun

20 Januari 2017   19:59 Diperbarui: 20 Januari 2017   20:24 4020
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masih segar diingatan tentang film yang mengisahkan perjalanan cinta antara mantan presiden ketiga Republik Indonesia, B.J. Habibie dengan istrinya, Ainun. Kisah cinta romantis yang seringkali membuat pasangan lain iri dengan kesetiaan yang diukir hingga akhir hayat. Tidak sedikit orang yang mengagumi komitmen dan kesetiaan B.J. Habibie yang cintanya utuh pada Ainun. Habibie juga kerap kali disebut-sebut sebagai sosok kekasih yang baik karena cinta serta kesetiaannya pada Ainun, meski kini mereka telah berbeda alam. Tentu banyak yang beranggapan betapa beruntungnya Ainun memiliki suami yang cerdas dan setia seperti Habibie.

Tidak ada habisnya jika membahas tentang keromantisan kisah Habibie dan Ainun. Pertanyaan yang muncul di benak saya ketika menyaksikan ketulusan serta kesetiaan B.J. Habibie adalah bagaimana sosok istrinya. Ainun, istri sekaligus salah satu wanita yang berperan penting dibalik kesuksesan Habibie. Dibalik lelaki hebat, selalu ada wanita yang luar biasa. Begitu kiranya ungkapan yang dapat digunakan dalam mengupas kisah ini. "Mereka mengira akulah kekasih terbaik bagimu Sayang, tanpa mereka sadari, bahwa kaulah yang menjadikan aku kekasih yang baik. Mana mungkin aku setia padahal kecenderunganku adalah mendua, tapi kau ajarkan aku kesetiaan, sehingga aku setia, kau ajarkan aku arti cinta, sehingga aku mampu mencintaimu seperti ini" (B. J. Habibie).

Bahkan B. J. Habibie sendiripun mengakui ketangguhan Ainun yang menjadikannya lelaki setia dan kekasih terbaik. Sosok dr. Hj. Hasri Ainun Besari yang biasa dipanggil Hasri Ainun Habibie dilahirkan di Semarang, Jawa Tengah, 11 Agustus1937 dan meninggal di München, Jerman pada 22 Mei2010. Beliau merupakan istri dari Presiden Indonesia Ketiga, BJ. Habibie, dan menjadi Ibu Negara Indonesia ketiga dari tahun 1998 hingga tahun 1999.

Istri yang baik, ibu yang hebat, begitulah yang ada dipikiran saya ketika mencoba membayangkan sosok Ainun. Wanita yang berhasil membuat saya kagum sekaligus iri dengan kesempurnaan hidupnya. Dinikahi oleh lelaki cerdas dan setia serta dikaruniai dua orang putra yang cerdasnya luar biasa. Kelihaian Ibu Ainun dalam menjadikan Habibie kekasih yang baik serta setia, padahal kecenderungan lelaki adalah mendua membuat saya kagum.

"Kalau istri banyak ngomel, rewel, dan cerewet, suami jadi tidak luwes bergaul. Akhirnya tidak bisa maju dalam pekerjaan. Sepadat mungkin suami harus bebas dari keruwetan rumah tangga agar bisa leluasa berpikir tentang pekerjaan" (Hasrie Ainun Habibie). Oh, ternyata ini rahasianya. Semakin mengagumi, semakin mencari tahu, semakin tahu, dan semakin kagum dengan sosok Ibu Ainun. Petikan kalimat itu membuat saya berpikir ulang. Bagaimana dengan saya? Masih banyak yang harus diperbaiki, masih banyak yang perlu dilatih untuk bisa ikut andil untuk kesuksesan suamiku kelak, keluarga kecilku nanti.

Wujud kasih sayang Ainun kepada Habibie dan kedua putranya juga terwujud dalam pegorbanan. Ya, pengorbanan. Tak banyak yang tahu, mungkin juga tak banyak yang memahami bahwa sesungguhnya Ainun telah berkorban dan menurunkan egonya untuk kebaikan keluarganya. Apa pengorbanan itu? Karir. Ainun merupakan seorang dokter cerdas dan karir gemilang tetapi ia memilih mendampingi Habibie dan meletakkan karir kedokterannya untuk sepenuh hati mengurus suami dan kedua putranya. 

"Saya tidak menjanjikan Ainun tentang dunia, aku tidak berjanji bahwa kehidupan kita di Jerman nanti akan mudah, dan aku tidak tahu apakah Ainun bisa praktik menjadi dokter lagi di sana, namun aku janji padamu aku akan menjadi suami terbaik buatmu." kata Pak Habibie ketika melamar Bu Ainun dalam becak kala hujan turun. "Aku mungkin tidak akan selalu menjadi istri yang baik, tapi aku janji akan selalu mendampingimu.." jawab Bu Ainun atas lamaran Pak Habibie.

Ainun rela diboyong Habibie ke Jeman yang kala itu entah bisa atau tidak Ainun melanjutkan karirnya sebagai dokter. Ainun memilih hal lain. Ia tidak berfokus pada karirnya yang bisa saja sangat gemilang itu. Ia memilih mengabdikan seluruh hidupnya untuk mendampingi Habibie dan mengurus dua putranya. "Mengapa saya tidak bekerja? Bukankan saya dokter? Memang. Dan sangat mungkin bagi saya untuk bekerja pada waktu itu. Namun, saya pikir buat apa uang tambahan dan kepuasan batin tang barangkali cukup banyak itu jika akhirnya diberikan pada seorang perawat pengasuh anak bergaji tinggi dengan risiko kami sendiri kehilangan kedekatan pada anak sendiri?

Apa artinya tambahan uang dan kepuasan profesional jika akhirnya anak saya tidak dapat saya timang dan saya bentuk sendiri pribadinya?Anak saya akan tidak mempunyai ibu. Seimbangkah anak kehilangan ibu bapak? Seimbangkah orang tua kehilangan anak dengan uang dan kepuasan pribadi bertambah karena bekerja? Itulah sebaabnya saya memutuskan menerima hidup pas-pasan. Tiga setengah tahun kami bertiga hidup begitu" (Ainun Habibie, Tahun-tahun Pertama)

Sungguh besar pengorbanan Ainun. Tapi itu tidak sia-sia. Tak heran kedua putranya disebut-sebut memiliki kecerdasan luar biasa. Bagaimna tidak, tangan seorang dokter yang cerdaslah yang langsung mengasuh, merawat, dan mendidik mereka. Tidak heran jika generasi berkualitas pula lah yang lahir. 

Terima kasih Ibu Ainun, telah engkau berikan pelajaran yang luar biasa bagi kami, calon ibu. Membangun kedekatan dengan anak sangat penting, cerdas dan perpengetahuan luas juga tidak kalah penting. Selagi masih luang, mencari ilmu pengetahuan itu wajib untuk bekal mendidik anak kelak. Sebagai calon ibu dan calon istri, semoga kami bisa meneladani Ibu Ainun sehingga akan tumbuh lelaki (baca: suami) hebat dan generasi (baca: anak) yang cerdas dan berbudi pekerti luhur.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun