Mohon tunggu...
Setyani Alfinuha
Setyani Alfinuha Mohon Tunggu... -

Alumni ISHS 3 Kediri | Psikologi UIN Maliki Malang '13\r\n13410056

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Merindu

18 April 2014   23:45 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:30 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sudut pandang Lina

Bekerja di dunia hiburan bukan hal mudah terlebih bagi kita para wanita. Tak jarang kita dilecehkan oleh atasan yang busuk itu. Aku salah satu wanita yang terjun di dunia hiburan. Aku merupakan anggota dari sebuah grup vocal yang berisi lima wanita cantik, berbadan proporsional, dan bersuara emas. Pada kasusku, kami bukan hanya dilecehkan, tapi kita juga dipaksa untuk menandatangani kesepakatan kerja yang sangat tidak menguntungkan. Kontan aku dan kedua rekanku, Echi dan Lupita, menolak keras dan meminta hak kami untuk dikembalikan dengan adil dengan jalur hukum. Namun ada yang aku sayangkan, dua rekanku lainnya, Arum dan Tika, tak mau ikut serta melawan mereka. Padahal Arum adalah sahabat karibku sejak kecil, kenapa ia tak mau mengerti jalan pikiranku? Para petinggi itu salah! Mereka semena-mena pada kita!

Waktu terus berlalu dan aku masih duduk merenung di kamarku yang gelap. Arum, apa yang kau pikirkan sekarang? Setelah kita terpisah jauh, setelah kita tak mungkin bersama lagi, kenapa saat itu kau hanya diam dan menuruti segala kata-kata mereka? Padahal sebagai pemimpin grup vocal kita, kau yang paling tahu betapa kejamnya mereka. Kenapa waktu itu kau tak ikut saja denganku? Aku sahabatmu.

Lina, boleh aku masuk?” dengan hati-hati Lupita menegurku yang tengah duduk termenung di depan layar komputerku yang kubiarkan menyala sedari tadi.

“Masuklah.” Lupita pun memasuki ruang kamarku dan duduk tepat disisiku.

Lin, apa kau yakin bahwa yang kita lakukan ini benar?”

“Kenapa kau masih mempertanyakannya lagi? Kita benar. Kita menuntut hak yang sudah sepatutnya kita dapatkan pada manajemen sialan itu.

“Tapi Lin, apa kau merasa baik-baik saja seperti ini?”

“Maksudmu?” kataku. “Aku yakin kau pasti sangat merindukan leader kita itu bukan?” aku terdiam sesaat dan memandangi layar komputerku. Layar komputer yang sedari tadi menampilkan gambarku dan Arum.

“Entahlah.aku menjawab lesu sembari menghela nafas berat. “Tapi aku tak mau mundur setelah sejauh ini. Aku tak ingin mereka menertawakan kita dan menganggap kita ini orang bodoh yang tak punya pendirian.” Lupita mengangguk. Dia yang cukup peka perasaannya itu pasti paham perasaanku saat ini.

“Kalau kau sudah tak tahan lagi kau bisa menghubunginya. Ini nomor ponselnya yang baru.” Lupita menyodorkan secarik kertas kepadaku.

“Kau…” aku kaget. Belum sempat aku bertanya darimana dia bisa dapatkan nomor itu, dia sudah menjelaskannya padaku. “Aku dapat dari salah seorang kru saat syuting sinetron kemarin. Aku bersusah payah untuk bisa mendapatkannya, jadi manfaatkanlah sebaik mungkin.”

Iya, terima kasih.” Aku tak tahu harus berkata apa lagi. Aku hanya memeluk tubuh Lupita sebentar namun penuh arti. Aku tak tahu bagaimana caranya menyampaikan rasa terima kasihku saat ini.

--------------------------------------------------------------

Sudut pandang Arum

Daun-daun berjatuhan dari ranting pohon besar di halaman rumahku. Dari teras kecil ini, aku dapat menatap jauh ke langit yang luas. Langit biru itu kini telah berwarna kelabu karena mendung yang tebal, membuat segala macam pemikiran buruk kembali berputar di benakku. Seperti kata Lina, mereka memang kejam. Mereka seakan tak membiarkanku bernafas lagi. Yang bisa aku lakukan saat ini hanyalah duduk di hadapan laptop mencari tahu kabar Lina melalui berita-berita yang ada di internet. Aku dapat melihat senyumannya di foto-foto yang terpampang pada berita-berita itu. Tapi aku tahu, itu hanya senyum palsunya. Aku tahu betul dia. Dia bisa saja menipu banyak orang ataupun media yang ada, tapi dia tak akan pernah bisa menipu mataku, sahabat karibnya.

Aku menghela nafas berat. Aku meminum perlahan secangkir teh dan mulai menyanyikan segala lagu sedih yang aku tahu. Apa aku telah mengambil keputusan yang salah? Sepertinya begitu, karena keputusanku kita terpisah. Akan tetapi, apa yang bisa kuperbuat saat ini? Adakah kiranya orang yang mampu membantuku saat ini? Aku merasa sangat lemah tanpanya.

Aku tahu sudah tak ada yang bisa kuperbuat lagi saat ini. Aku benar-benar orang yang tak bisa diandalkan. Dulu aku bilang aku tak akan meninggalkan Lina, tapi kini aku kalah pada sistem dan peraturan yang ada. Aku mengambil selembar foto yang terletak di meja. Foto kami saat masih bersama dalam sebuah grup vokal itu. Lina, aku ini hanyalah seorang pengecut. Dan pengecut ini hanya bisa merelakan diri, mengorbankanmu, dan membunuh perasaannya sendiri.

----------------------------------------------

Sudut pandang Lina

Dari tadi aku mondar mandir dalam kamar menanti ponselku tersambung dengan milik Arum. Saat aku menyadari ponsel seberang diangkat dengan riang dan rasa rindu yang tak tertahankan lagi aku bersorak.

Arum! Ini aku Lina. Bagaimana kabarmu?”

“Ehem.” Orang diseberang berdehem kemudian mulai bicara dengan nada kaku yang tajam. “Lina, apa kau lupa mengenai kesepakaan kita bahwa kau tak boleh lagi menghubungi Arum atau pun Tika?” suara berat yang jelek. Itu suara salah satu petinggi di manajemen. Aku merasa aku telah dijebak. “Kenapa hanya diam? Kaget? Aku tahu akan jadi begini nantinya semenjak Lupita main di sinetron. Kau pasti akan menemukan cara untuk menghubungi Arum, maka aku segera menyita ponselnya dan kusuruh ganti dengan yang baru. Kau pikir kau pintar? Harus kau ingat, kami lebih lihai darimu. Camkan itu baik-baik dan jangan coba-coba menghubungi Arum atau pun Tika lagi!” sambungan terputus. Aku tercekat. Kata-kata tajam itu lagi, rasanya hatiku ditusuk-tusuk olehnya. Kata-kata itu membuat kakiku terasa lemas hingga membuatku hilang keseimbangan dan terduduk di lantai. Buliran air mataku jatuh perlahan hingga mengenai bibirku. Asin. Makin lama air mata itu jatuh semakin deras hingga sedikit membasahi kaos putih pemberian Arum dulu.

Rum, aku harus bagaimana lagi? Aku sangat merindukanmu.” aku berkata lirih sambil terus menangis di sudut kamarku. Kamar dengan dinding yang penuh dengan poster besar bergambarkan Arum. Kamar yang penuh dengan barang pemberian Arum. Sebagian koleksi bonekanya, bolpennya yang sudah tak bisa dipakai lagi, mantel hangat yang ia berikan padaku, foto-foto kami berdua. Aku rasakan aku semakin gila karena ini semua. Aku yang keras kepala, kita yang lemah, dan mereka yang kejam. I MISS YOU.

---++END++---

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun