Hobi mengendarai sepeda motor ke beberapa tempat-tempat wisata di pulau jawa mengantarkan saya untuk melihat lebih elok negeri yang saya pijak sejak lahir dan memaksa saya berkenalan dengan wajah-wajah baru yang harus saya hafal. Semuanya meninggalkan kesan dan semua itu tak pernah saya dapatkan di sekolahan. Suatu hari saya diajak oleh rekan saya bahwa ada sebuah kegiatan bakti sosial yang akan diadakan oleh beberapa orang yang sama-sama hobi berkendara menggunakan sepeda motor.
Awalnya saya tidak begitu tertarik, namun karena seusai acara bakti sosial tersebut dilanjutkan dengan kegiatan camping di sebuah waduk, akhirnya saya memutuskan untuk mengikuti kegiatan tersebut. Setelah mencari beberapa informasi, lokasi kegiatan tersebut diadakan di Kabupaten Grobogan Jawa Tengah. Dari Boyolali menuju Grobogan membutuhkan waktu kurang lebih dua jam perjalanan.
Berangkat dari boyolali sekitar pukul tiga dini hari melewati jalur Karanggede-Wonosegoro-waduk Kedung Ombo-Purwodadi-kecamatan Pulokulon Grobogan. Sebelumnya saya melihatdi google maps jarak tempuh yang akan dilalui. Namun ketika perjalanan, waktu tempuh dan jarak tidak sesuai seperti di peta google maps alhasil saya menggunakan GPS manual alias (Gunakan Penduduk Sekitar). Memasuki Kecamatan Pulokulon,jalan aspal tak saya temui disini dan juga tak saya temui ekspresi kesal yang ditunjukkan oleh beberapa masyarakat yang saat saya melewati jalur ini.
Sebuah lapangan sepak bola beralaskan rumput hijau tepat didepan saya, dan dibelakang lapangan tersebut tiga bangunan sd. Papan kayu mengelilingi bangunan sd tersebut, salah seorang teman kami hendak ke kamar mandi, namun diurungkan karena kamar mandi tersebut tidak dapat digunakan. Setelah beberapa saat berkomunikasi bersama beberapa guru di sd tersebut.
Letak SDN Mlowokarangtalun 1 dan 4 yang berdampingan memiliki goresan sejarah bahwa 2 Sekolah ini pernah mengalami suasana yang sangat ramai pada saat proses belajar mengajar. Namun sekarang keheningan menghampiri 2 Sekolah ini, banyak calon siswa-siswa kini berpaling pada sekolah yang lain. Hingga tahun ini Kepala sekolah serta dewan guru kedua sekolah tersebut bersepakat untuk menggabungkan siswa beserta managerialnya menjadi satu sekolah saja, demi meminimalisir biaya yang dikeluarkan. Selain itu, disekolah tersebut dari 15 guru hanya satu yang berstatus pegawai negeri sipil, sisanya masih berstatus honorer.
Mungkin mereka terheran dengan aneka perabotan yang ada di motor saya, maklum karena saya membawa beberapa peralatan untuk camping. Namun demikian, saya tetap membawa kebiasaan dari rumah yaitu bertutur mit-amit atau monggo mas/bu/pak (tergantung yang disapa). Mit-amit sepengetahuan saya adalah ungkapan menyapa sesaat ketika melintasi warga/masyarakat lokal dengan maksud tata krama yang berlaku tanpa terkecuali, entah kenal dengan orang tersebut atau tidak tetap menyapa dan ini masih terjalin khususnya di daerah di pedesaan jawa tengah
Pernah suatu hari saya sedang di sebuah komplek perumahan di perkotaan, karena saya orang desa dan sudah terbiasa dengan menyapa orang, saya secara refleks saat mengendarai sepeda motor di sekitar komplek bertemu dengan seorang ibu-ibu dan saya berkata “monggo bu” (mari bu), ibu-ibu tersebut hanya menatap tanpa menggubris sedikit pun. Ternyata saya lupa, bahwa saat itu saya di perkotaan.