Mohon tunggu...
Humaniora Pilihan

Keadilan Pendidikan untuk Tunas-tunas Bangsa Berkebutuhan Khusus

4 November 2017   22:46 Diperbarui: 4 November 2017   23:07 487
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sistem pendidikan di Indonesia mengalami berbagai kendala atau masalah dalam pelaksanaannya yaitu mulai dari kenakalan remaja sampai peluang memperoleh pendidikan terutama untuk penyandang disabilitas. Dengan permasalahan yang begitu kompleks, sistem pendidikan di Indonesia perlu mendapatkan perhatian yang sangat serius. Dalam artikel ini akan dipaparkan salah satu permasalahan pendidikan yaitu tentang fenomena pendidikan inklusi terutama di daerah Magelang, Jawa Tengah.

Untuk memperkuat argumen tentang pelaksanaan pendidikan inklusi yang menjadi bagian penting dalam menunjang kesempatan dan peluang bagi anak berkebutuhan khusus, berikut ini akan dipaparkan beberapa landasan yuridisnya. Landasan yuridis internasional tentang penerapan pendidikan inklusi adalah Deklarasi Salamanca (UNESCO, 1994) oleh para menteri pendidikan sedunia. Deklarasi ini merupakan penegasan kembali atas Deklarasi PBB tentang HAM tahun 1948 dan berbagai deklarasi lanjutan yang berujung pada Peraturan Standar PBB tahun 1993 tentang kesempatan yang sama bagi individu berkelainan memperoleh pendidikan sebagai bagian integral dari sistem pendidikan yang ada.

Selain itu, sebagai usaha mengatasi permasalahan terkait penyediaan pendidikan bagi peserta didik penyandang disabilitas, Pemerintah Indonesia  mengeluarkan Undang-undang Nomor 20 tahun 2003. Dalam penjelasannya, pasal 15 dan pasal 32 menyebutkan bahwa pendidikan khusus merupakan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah.

Aturan terbaru yang mengatur tentang pendidikan inklusi adalah dikeluarkannya Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) nomor 70 Tahun 2009 yang menyebutkan bahwa pendidikan inklusi sebagai sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya.

Dengan melihat landasan yuridis tersebut terutama dengan jaminan Undang-Undang yang telah dipaparkan di atas dan menelaah dari bentuk penyelenggaraan pendidikan inklusi yang bertujuan untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya dan mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai keanekaragaman dan tidak diskriminatif, pelaksanaan pendidikan inklusif bagi anak berkebutuhan khusus harusnya akan semakin berkembang dan terlaksana.

Anak-anak penyandang autis yang menempuh pendidikan khususnya di daerah Magelang difasilitasi dengan sekolah khusus autisme yang bernama Bina Anggita. Sekolah khusus autisme Bina Anggita merupakan satu-satunya sekolah yang khusus menampung anak-anak autis. 

Pendirian Sekolah Khusus Autisme Bina Anggita berawal dari keprihatinannya terhadap anak-anak penyandang autis di Magelang dan sekitarnya yang tidak memiliki tempat khusus untuk pendidikan anak autis. Pemikiran untuk mendirikan sekolah ini didasarkan pada keadaan bahwa anak autis memang tidak cocok masuk SLB karena kecerdasan normal di atas rata-rata. Sedangkan di sekolah reguler mereka juga ditolak karena tidak bisa menerima intruksi dan perilaku yang cenderung seenaknya.

Pihak Dinas Pendidikan setempat bersedia meminjamkan tempat meski sangat sederhana dan memberikan izin operasional. Akan tetapi, sekolah tersebut akan diminta oleh Pemerintah Kota Magelang melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan untuk dijadikan sekolah Pendidikan Anak Usai Dini (PAUD).  Sekolah ini memang berstatus pinjam dari Dinas Pendidikan Kota Magelang.

Dari pemaparan kasus di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa jumlah lembaga pendidikan yang menyediakan ruang untuk pendidikan inklusi belumlah memadai dibandingkan dengan jumlah anak berkebutuhan khusus.

 Dinas yang memperketat izin pembukaan sekolah inklusi dengan dalih untuk menjaga kualitas pelayanan kepada anak berkebutuhan khusus juga menjadi faktor penghambat pendirian sekolah inklusi. Memang pelayanan pendidikan inklusi tidak boleh sembarangan dan para pendidiknya harus sudah mempelajari pendidikan luar biasa, namun hal tersebut bisa diatasi dengan memberi pengarahan atau sosialisasi pada guru atau staf pengajar dalam hal yang terkait dengan metode pengajaran.

Sekolah reguler yang menolak siswa ABK dengan alasan dari sisi sarana dan prasarana juga dapat diatasi dengan berbagai strategi. Sebagai contoh, di salah satu sekolah SMA reguler yang menerima siswa ABK, ruang kelas siswa tersebut dipindahkan di lantai satu sehingga siswa ABK tidak kesulitan untuk mengakses ruang belajarnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun