Mohon tunggu...
Agus Tajib
Agus Tajib Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sosiologi Universitas Airlangga 2024

Seorang mahasiswa yang menyukai kegiatan sosial seperti volunteer dan organisasi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Bayangan Gelap TikTok: Yang Terjadi Jika Hidupmu Disetir Standar TikTok

18 November 2024   18:03 Diperbarui: 18 November 2024   18:06 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada bulan Juli 2024 kemarin, Indonesia dinobatkan sebagai negara dengan jumlah pengguna Tiktok terbanyak dunia mengalahkan Amerika Serikat dengan total pengguna sebesar 157,6 juta (statista, 2024). Hal ini menggambarkan keberhasilan Tiktok dalam menjamah pasar media sosial Indonesia. Masyarakat yang semula terbiasa melihat media sosial dengan postingan foto atau video panjang, mulai gemar dengan konten scrolling yang disuguhkan oleh aplikasi tiktok. Keberhasilan ini tidak terlepas dari peran algoritma Tiktok. Algoritma ini menyuguhkan postingan-postingan yang disukai pengguna bahkan tanpa perlu menggunakan fitur pencarian sehingga membuat pengguna makin betah untuk menghabiskan waktu bermain Tiktok.

Masifnya penggunaan tiktok di indonesia secara tidak langsung memberikan dampak yang signifikan terhadap kehidupan masyarakat terlebih bagi generasi muda yang paling banyak menghabiskan waktu pada aplikasi ini. Tidak hanya merubah kebiasaan bermedia sosial masyarakat, Tiktok juga berperan dalam memengaruhi standar sosial budaya dalam masyarakat lewat "Standar Tiktok". Uniknya, standar tiktok ini tidak hanya berdampak dalam aplikasi ini, namun juga memengaruhi kehidupan penggunanya secara nyata.

Standar tiktok merujuk kepada seperangkat aturan atau norma-norma yang secara tidak langsung memengaruhi persepsi pengguna aplikasi Tiktok mengenai berbagai hal seperti, kecantikan, popularitas, gaya berpakaian, tipe pasangan yang ideal, bahkan hingga ke bagian detail seperti berkomunikasi secara online. Misalnya dalam hal chatting, tiktok memengaruhi kita dalam berkomunikasi dengan pesan lewat standar typing gantengnya. Mulanya standar ini berasal dari sebuah opini atau persepsi seorang pengguna tiktok yang kemudian dituangkan dalam bentuk postingan di tiktok. Postingan tersebut kemudian viral dan menjadi trend di dalam komunitas tiktok sehingga akan diikuti oleh mayoritas penggunanya dan kemudian menciptakan standar tiktok.

Mirisnya standar tiktok ini membuat beberapa penggunanya memiliki ekspektasi yang tidak realistis dalam memandang kenyataan yang ada (Sitompul A. V., 2024). Mereka cenderung terpaku dengan apa yang mereka lihat di tiktok dan menjadikannya acuan dalam kehidupan mereka. Hal inilah yang kemudian menjadi salah menurut saya. Kita sama-sama tahu bahwa masyarakat Indonesia itu berasal dari berbagai macam latar belakang yang berbeda beda, sehingga sejak awal tidak realistis untuk menyeragamkan sebuah masyarakat berdasarkan standar tiktok ini. Mereka membuat sebuah standar bahwa orang yang cantik itu adalah orang yang berkulit putih atau dalam hal ini "glowing", lalu seenaknya menyematkan sebuah label kepada orang yang berkulit gelap dengan "aura maghrib" yang padahal mayoritas orang di Indonesia itu berkulit gelap karena iklim yang tropis.

Selain itu, postingan yang berseliweran di tiktok sering kali hanya menampilkan sisi baik dari kehidupan konten kreator tersebut. Membandingkan kehidupan kita yang sudah kita tahu sendiri keburukannya dengan postingan yang hanya menampilkan sisi baik dari kehidupan konten kreator tersebut sangat tidak masuk akal dan berbahaya.  Hal ini dapat berdampak negatif pada persepsi diri pengguna, menurunnya harga diri serta memberikan tekanan untuk mencapai standar yang tidak dapat dicapai (Sitompul A. V., 2024). Lebih jauh lagi, adanya standar yang tidak realistis ini kemudian dapat berpengaruh terhadap kesehatan mental penggunanya.

Menurut saya, kita seharusnya lebih sadar saat menggunakan sosial media. Menggunakan sosial media memang menyenangkan namun kita juga perlu berhati-hati dengan bahayanya. Jangan biarkan sebuah postingan mengatur bagaimana kita akan menjalani sebuah hidup. Ini adalah hidup kita sendiri, bukan orang lain. Kita perlu sadar bahwa setiap dari kita memiliki latar belakang dan pengalaman hidup yang berbeda, menjalani kehidupan yang berbeda beda pula. Perbedaan ini bukanlah suatu hal yang berbahaya dan harus kita benci, namun merupakan suatu berkah dari Sang Pencipta itu sendiri. Dalam taraf yang wajar, membandingkan situasi hidup kita dengan orang lain dapat memberikan motivasi untuk terus menjadi lebih baik lagi. Namun kita perlu selalu ingat untuk tetap selalu bersyukur dengan kehidupan yang saat ini kita jalani.

 

REFERENSI

Sitompul, A. V. (2024). Pengaruh Media Sosial Terhadap Persepsi Diri Dan Kesehatan Mental Remaja. Circle Archive, 1(4).

https://www.statista.com/statistics/1299807/number-of-monthly-unique-tiktok-users/#:~:text=As%20of%20July%202024%2C%20Indonesia,on%20TikTok%20watching%20short%2Dvideos.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun