Sampai dengan pertengahan tahun 2024, badai PHK di Indonesia masih berlangsung. Dikatakan mereda pun belum. Malah, situasinya makin mengkhawatirkan.
Alih-alih kesejahteraan yang merata, saat ini, malah pengangguran yang tersebar di mana-mana. Nasib pekerja maupun pencari kerja saat ini seakan ditidakpedulikan, dibiarkan, dan kita-kita juga yang mesti berpikir bagaimana cara untuk bertahan dan melanjutkan hidup.
Survival mode yang jelas tidak mudah, apalagi jika tanpa privilege atau perbekalan apa pun.
Di waktu bersamaan, sekolah menengah atau kejuruan dan banyak universitas tidak kenal kata jeda untuk meluluskan para murid beserta mahasiswa setiap tahunnya.
Jelas, ini adalah situasi yang sulit. Tanpa teori fafifu yang ndakik, orang awam pun sudah dapat membayangkan situasi: lulusan satu, dua, tiga tahun ke belakang saja masih banyak yang menganggur dan sangat sulit mendapat pengalaman kerja. Ini lagi, ditambah lulusan angkatan baru. Apa nggak semakin membludak jika dibiarkan begitu saja?
Itu adalah contoh pertanyaan sekaligus pemikiran sederhana yang muncul setiap tahunnya, tiap kali ada kabar soal pengangguran termasuk PHK.
Di media sosial, mulai dari diskusi sehat sampai saling tunjuk siapa yang patut disalahkan atas situasi ini sudah sering dilakukan oleh netizen.
Ada yang beranggapan HRD patut disalahkan karena sering mencantumkan persyaratan tidak masuk akal dalam iklan lowongan pekerjaan. Nggak sedikit yang menyalahkan pekerja generasi sekarang mentalnya lemah dan manja. Pemerintah, sebagai regulator, tentu tidak luput juga dari diskusi tersebut.
Pertanyaannya, apakah ribut-ribut ini tidak terdengar sedikit pun oleh penentu kebijakan? Sampai-sampai belum ada aksi berdampak yang dilakukan? Dan mau sampai kapan benturan antar kelas pekerja ini dibiarkan tanpa ada perbaikan?
Imbas dari badai PHK, persentase pengangguran yang dikabarkan meningkat, batas usia pada info loker yang dianggap tidak termasuk dalam diskriminasi, serta sekelumit dinamika lainnya yang dianggap sepele, adalah munculnya fenomena hopeless of job, kondisi di mana para pencari kerja merasa putus asa, menyerah, tidak bersemangat, bahkan depresi.
Dari data BPS (Badan Pusat Statistik) via CNBC Indonesia, 369,5 ribu anak muda dengan rentang usia 15-29 tahun yang masuk golongan hopeless of job.
Lebih lanjut lagi, hopeless of job juga dipicu karena kurangnya lapangan pekerjaan di sektor formal, hingga tidak sesuainya antara lapangan pekerjaan dengan latar belakang pendidikan.
Tentu saja, ini bukan masalah sepele. Mengingat saat ini, normalisasi akan ketimpangan di dunia kerja banyak sekali yang dibiarkan menguap begitu saja.
Satu contoh kasus paling kontras adalah upah di bawah UMR. Ini menjadi efek laten nyata dan para pencari kerja hanya bisa pasrah menerima. Sebab, mereka tidak punya banyak pilihan, selain: daripada nganggur, nggak produktif, dan nggak kunjung dapat (pengalaman) kerja. Mending kerja dulu, lah, walaupun upah di bawah UMR.
Hal tersebut menjadi praktik yang sangat miris sekali di dunia kerja. Ditambah sebagian perusahaan medioker---untuk tidak menyebutnya bajingan---yang petantang-petenteng memanfaatkan situasi ini, sambil bergumam, "Mau nggak? Kalau mau (upah di bawah UMR ini), ambil. Yang penting bisa bekerja dulu. Kalau nggak, ya, sudah."
Pada titik tertentu, akhirnya asas saling membutuhkan, menemukan, dan saling sepakat antara perusahaan dengan calon pekerja, sulit diimplementasikan lagi. Sebab, yang tersisa di lapangan hanya gelembung kekhawatiran, "Ya, sudah. Saya terima, yang penting bisa kerja lebih dulu, walaupun upah di bawa UMR."
Tapi, jangan salah paham dulu. Saya menyampaikan secuil efek laten tersebut bukan untuk menebar kekhawatiran. Lebih dari itu, saya ingin adanya antisipasi sekaligus regulasi yang jelas dari penentu kebijakan, untuk mengatasi ketimpangan tersebut. Agar para pencari kerja maupun pekerja aktif, bisa keluar dari gelembung hopeless of job. Sekaligus memastikan bahwa praktik kecurangan bisa diredam dan dikubur dalam-dalam.
Menyedihkannya, di antara banyaknya HRD, sebagian di antaranya selalu ada yang menormalisasi ketimpangan tersebut dan tidak mau ambil pusing sambil berkata, "Ya mau gimana lagi?" Sebagai sesama pekerja yang bergelut di bidang ini, saya merasa campur aduk: sedih, miris, dan sangat marah. Apalagi jika ia adalah kerabat atau kenalan lama.
Begini. Saya selalu meyakini bahwa, pada dasarnya, baik para pencari kerja maupun pekerja aktif, layak dan berhak mendapat pekerjaan yang diinginkan, diimbangi dengan paket benefit yang lebih baik dari sebelumnya. Jika ideal adalah kata yang terlalu berat untuk digunakan, ya, normalnya demikian. Dan jika hal tersebut tidak mendapat titik temu, artinya ada yang perlu diperbaiki dari sisi regulasi. Sayangnya, celah besar ini seakan tidak dipikirkan secara serius.
Soal ini, masa harus kita-kita juga, sih, para pekerja atau pencari kerja, yang merancang solusi bagi satu dan lainnya? Sudah hopeless karena tak kunjung dapat pekerjaan (yang diinginkan dan lebih baik), sebagai rakyat biasa, selain harus memikirkan bagaimana caranya bertahan hidup dari hari ke hari, malah dapat job desc tambahan sekaligus mumet sendiri. Malang betul nasib kami sebagai rakyat biasa ini.
Maksud saya, apakah penentu kebijakan bisa lebih fokus dan serius dalam menangani masalah hopeless of job sekaligus upah layak, PHK, serta persoalan lainnya di dunia kerja? Sebab, jika dibiarkan begitu saja, dianggap sepele, dan tidak ada pergerakan pasti ke arah lebih baik, masalah di dunia kerja akan semakin menumpuk, serta berpotensi terus berulang. Dan sebagai rakyat biasa, seperti yang sudah-sudah, kami hanya bisa pasrah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H