Di zaman sekarang, mendapatkan pekerjaan---atau setidaknya lolos seleksi tahapan awal/administrasi saat melamar kerja---terbilang antara gampang dan sulit.
Dibilang gampang, ya nggak juga. Apalagi saat ini pelamar kerja semakin membludak dengan segala kemampuan dan latar belakang pendidikan yang dimilki.
Dibilang sulit, banget! Alasannya, kembali kepada premis sebelumnya. Belum lagi dengan segala persyaratan yang diberikan oleh perusahaan.
Selain itu, di tengah pandemi seperti sekarang ini, para pelamar kerja juga mau tidak mau, suka atau tidak, mesti mempersiapkan dana tambahan untuk persiapan melakukan rapid atau swab tes, jika diperlukan sebagai syarat administratif.
Lantas, apakah persoalan sudah selesai? Tentu saja belum. Ada tantangan lain yang harus dihadapi oleh para pelamar kerja, yakni lowongan kerja abal-abal. Atau biasa disebut juga sebagai penipuan berkedok lowongan pekerjaan.
Tentu saja hal ini membikin pusing tujuh keliling para pelamar kerja. Sebab, tidak sedikit penipuan dilakukan secara perlahan, dengan proses end to end yang cukup meyakinkan.
Namun, hal yang paling mudah dideteksi dari penipuan berkedok lowongan kerja/seleksi karyawnan adalah adanya permintaan sejumlah uang---baik secara tunai, diangsur, atau melalui transfer.
Bagi saya, tentu saja ini sudah menyimpang dari kaidah proses perekrutan yang fair dan profesional. Sederhananya, seseorang melamar/mencari pekerjaan untuk mendapatkan uang---dari hasil kerjanya---bukan malah mengeluarkan sejumlah uang.
Sejatinya, perusahaan yang kredibel tidak akan pernah melakukan memungut biaya sepeser pun untuk proses seleksi karyawan yang dilakukan.
Tentu saja, menjadi lain persoalan jika seorang kandidat sudah lolos seleksi secara keseluruhan, lalu diminta surat keterangan sehat dan/atau surat keterangan rapid/swab test---khususnya di tengah pandemi seperti sekarang ini. Sebab, setiap perusahaan menerapkan kebijakan yang berbeda.