Mohon tunggu...
Seto Wicaksono
Seto Wicaksono Mohon Tunggu... Human Resources - Recruiter

Menulis, katarsis. | Bisa disapa melalui akun Twitter dan Instagram @setowicaksono.

Selanjutnya

Tutup

Love Artikel Utama

Brainstorming dengan Istri tentang Anak Itu Penting, Biar Nantinya Nggak Pusing

13 Maret 2021   09:10 Diperbarui: 13 Maret 2021   12:04 848
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi mengasuh anak: Shutterstock via Genpi.co

Saya memutuskan untuk menikahi seorang wanita yang saya cintai pada usia 24 tahun. Saat memutuskan untuk menikah di usia yang tergolong muda, ada pro dan kontra di antara beberapa kerabat.

Pertanyaan berbau penolakan seperti, "Yakin, mau nikah di usia segitu? Nggak mau ngejar karir dulu aja?" Atau "Yakin, perempuan itu adalah pilihan terakhir? Jangan sampai setelah menikah, malah masih lirik sana-sini!", dan seterusnya dan seterusnya kerap saya dengar. Meski tidak sedikit pula yang mendukung keputusan saya. Mau bagaimana pun, hal ini sudah menjadi bagian dari pilihan hidup.

Dalam prosesnya, hingga saat ini, tidak terbesit sedikit pun penyesalan bagi saya. Begitu pula dengan pasangan saya yang, sejak awal berpacaran, kami sudah punya kebiasaan untuk berdiskusi tentang beragam hal.

Kebiasaan diskusi atau brainstorming tetap kami lakukan sampai dengan saat ini. Bahkan ketika kami sudah dianugerahi seorang sahabat kecil, yang saat ini usianya sudah empat tahun.

Berdasarkan diskusi dan kesepakatan yang sudah kami lakukan, soal jumlah anak, kami berencana memiliki dua anak. Tiga menjadi angka maksimal.

Paling tidak, itu menjadi bagian dari rencana kami. Kalaupun tidak terwujud, bukan masalah. Lantaran, hal tersebut menjadi bagian dari hak prerogatif Tuhan yang tidak bisa diganggu gugat.

Kendati demikian, ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan sekaligus bahan brainstorming saya dan istri, sebelum merencanakan kehamilan yang kedua sampai dengan anak tersebut lahir. Beberapa diantaranya:

Pertama, pembagian waktu mengasuh anak antara saya dan pasangan agar bisa mendapatkan bonding yang cukup dan tepat.

Tidak bisa tidak. Memiliki satu, dua, atau berapa pun anak, orang tua harus bisa membagi waktunya dengan anak. Apalagi pada masa usia keemasan (golden age). Tujuannya agar bisa memaksimalkan segala potensi anak dan mendapatkan kasih sayang yang pas.

Kedua, tabungan yang cukup untuk hidup; termasuk dana pendidikan, dana tak terduga, dan lain sebagainya.

Hal ini juga harus masuk dalam financial planing saya dan pasangan. Lantaran, punya atau menambah anak, artinya tanggung jawab sebagai orang tua pun bertambah.

Di zaman yang segala sesuatunya tidak menentu seperti sekarang ini, tidak bisa hanya mengandalkan jargon, "Banyak anak, banyak rezeki" atau "Rezeki nggak akan ke mana."

Ketiga, kondisi, kesiapan, dan kesehatan pasangan saya.

Bagi saya, hal ini menjadi sesuatu yang sangat fundamental dalam memutuskan punya atau menambah anak. Sebagai seorang suami, saya tidak bisa egois. Tidak boleh egois.

Sewaktu memutuskan untuk menikah dengan seorang wanita yang dicintai, artinya saya juga harus siap untuk berdiskusi, brainstorming, dan menyepakati banyak hal bersama-sama. Apalagi urusan anak. Juga tentang masa depannya. Masa depan kami.

Bagaimana kondisi, kesiapan, sekaligus kesehatan pasangan saya, menjadi pertimbangan sebelum memiliki dan/atau menambah anak.

Tiga poin tersebut, disadari atau tidak, sering kali menjadi bahan overthinking bagi sebagian orang tua baru seperti saya. Mungkin juga beberapa pasangan lainnya.

Itu kenapa, perencanaan dan brainstorming tetap menjadi jalan tengah yang, diharapkan solutif bagi banyak pasangan.

Meskipun begitu, tidak bisa dimungkiri juga bahwa, memiliki anak termasuk ke dalam eustress. Stress positif yang, pada satu titik membikin sebagian atau banyak orang tua bahagia saat menjalani prosesnya.

Melihat anak tumbuh dan berkembang, belajar banyak hal, sampai dengan mendidik hingga dewasa, menjadi suatu hal yang melengkapi kebahagiaan.

Satu hal yang saya dan pasangan sepakati mengenai pola asuh anak adalah, kami percaya bahwa setiap anak itu cerdas dan punya keunikannya masing-masing.

Bahkan menurut John Locke, filsuf kenamaan asal Inggris, seorang anak itu ibarat kertas putih. Akan jadi apa kelak, tergantung apa yang dicoretkan pada kertas tersebut.

Secara tidak langsung, hal itu juga menegaskan bahwa peranan orang tua dalam mengarahkan bakat, minat, sekaligus potensi yang dimiliki oleh seorang anak. Juga membebaskan anak dalam menentukan masa depannya, menjadi hal yang sulit dipisahkan.

Pada akhirnya, apa pun keputusannya, sudah selayaknya semua pasangan merasa bahagia dengan caranya masing-masing. Sebab, sering kali, kehidupan terasa bahagia pada saat kita tidak mempedulikan nyinyiran orang lain terkait apa yang kita jalani.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun