Mohon tunggu...
Seto Wicaksono
Seto Wicaksono Mohon Tunggu... Human Resources - Recruiter

Menulis, katarsis. | Bisa disapa melalui akun Twitter dan Instagram @setowicaksono.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Betapa Sulitnya Memahami Pemikiran Atasan yang Suka Marahin Karyawannya di Muka Umum

26 Februari 2021   23:15 Diperbarui: 26 Februari 2021   23:33 452
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Atasan sedang memarahi karyawannya (The Grindstone via Magazine.Job-like).

Betapa Sulitnya Memahami Pemikiran Bos yang Suka Marahin Karyawannya di Muka Umum

Saya tidak pernah menduga sebelumnya bahwa, menjadi seorang recruiter, artinya saya juga harus siap menerima curhatan dari banyak teman tentang ruang lingkup pekerjaan.

Bagaimana seharusnya bertindak sewaktu ada masalah di kantor, cara menjaga relasi, dan lain sebangsanya. Harapannya agar bisa mendapat solusi, paling tidak insight, melalui brainstorming yang dilakukan.

Dari sekian banyak persoalan yang ada, ada satu hal yang paling familiar bagi saya. Lantaran, hampir selalu dikeluhkan tiap kali teman saya bercerita.

Bukan hanya satu orang, tapi hingga beberapa orang. Masalah yang, sebetulnya terbilang klasik. Barangkali, sebagian karyawan di mana pun juga pernah mengalaminya: dimarahi di depan banyak orang oleh Bos atau Atasan secara serampangan.

Sepengalaman saya selama bekerja beberapa tahun silam saat masih menjadi fresh graduate, saya pun pernah mengalami hal tersebut.

Rasanya betul-betul ambyar. Bikin nggak enak hati dan sedih di waktu bersamaan. Sampai saya mbatin,

"Kok kerja gini banget, ya. Memangnya nggak ada cara yang lebih baik dalam memarahi atau menegur karyawan, gitu?"

Tentu saja, selalu ada cara yang jauh lebih baik untuk menegur staf, tim, bawahan, apa pun istilahnya. Nggak perlu marah-marah di muka umum juga, dong, Bapak/Ibu yang terhormat.

Berbicara secara face to face di suatu ruangan, misalnya. Meski dengan cara yang sama, masih marah-marah atau sejenisnya, paling tidak, tidak sampai membikin orang lain kehilangan muka atau harga diri di depan khalayak.

Hal seperti ini, sebaiknya dibenahi oleh supervisi atau seseorang dengan jabatan tertentu. Mau bagaimana pun, karyawan juga punya perasaan. Punya harga diri atau prestige yang dijaga. Jangan sampai hanya emosi sesaat, karyawan terbaik yang masih aktif bekerja malah kehilangan semangat juga motivasi kerjanya.

Pada saat yang bersamaan, disadari atau tidak, jika watak dan kebiasaan tersebut masih dipertahankan, para Bos malah akan kehilangan kepercayaan sekaligus rasa hormat karyawannya.

Ya gimana, ya. Dimarahi di muka umum itu bikin kita, sebagai karyawan, 'kehilangan muka'. Apalagi, belum tentu juga sesuatu yang diperbuat itu betul-betul salah.

Kalaupun salah, rasa-rasanya nggak perlu juga diteriaki hingga banyak orang tahu. Belum lagi jadi bahan pergunjingan rekan satu kantor.

Resikonya pun tetap sama: di waktu yang bersamaan, Bos yang punya kebiasaan memarahi karyawannya di depan banyak orang, berpotensi kehilangan kharismanya sebagai pemimpin.

Apakah harus selalu berakhir seperti itu, Bapak/Ibu yang terhormat? Merelakan image hanya karena emosi sesaat yang, sebetulnya masalahnya pun bisa dibicarakan secara baik-baik. Bahkan, bisa jadi solusinya pun ada di depan mata.

Jangan sampai hanya karena treatment yang tidak tepat, karyawan terbaik dan berdedikasi tinggi memilih untuk pindah tempat.

Itu kenapa, di dunia kerja ada istilah coaching, training, atau coffee break (atau apa pun istilah lainnya yang digunakan) di sela-sela jam kerja, sebagai wadah untuk berdiskusi antara rekan kerja, juga karyawan dengan atasan.

Biasanya, pada sesi tersebut, satu sama lain akan saling terbuka tentang situasi dan kondisi terkini. Termasuk tugas serta kesulitan apa yang sedang dialami. Barangkali ada solusi atau insight yang bisa diusulkan dari rekan kerja, meski berbeda divisi.

Selain itu, suasana pada sesi coaching, training, atau coffee break, akan dibuat se-casual mungkin, tidak kaku. Agar satu sama lain bisa berdiskusi dengan rileks.

Sekalipun ada suatu masalah atau gesekan tertentu, bisa jadi saling terbuka dan tidak dipendam. Sisi baiknya, bisa meminimalisir teriakan-teriakan yang tidak perlu kepada rekan kerja atau kepada bawahan.

Lagipula, sekali lagi, buat apa sih memerintah atau menegur bawahan sambil marah-marah atau berteriak di depan rekan kerja yang lain, Bapak/Ibu yang terhormat?

Saya pikir, segala sesuatunya akan lebih bijak, jika dibicarakan secara baik-baik. Nggak perlu marah-marah. Sebab, akan lebih menyenangkan jika kita saling beramah-tamah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun