Mohon tunggu...
Seto Wicaksono
Seto Wicaksono Mohon Tunggu... Human Resources - Recruiter

Menulis, katarsis. | Bisa disapa melalui akun Twitter dan Instagram @setowicaksono.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Ternyata Mengasuh Anak adalah Pembelajaran Seumur Hidup dan Tidak Bisa Mengandalkan Teori

22 Desember 2020   19:30 Diperbarui: 25 Desember 2020   08:40 612
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya sempat merasa asing dan tidak biasa saat baru saja menjadi orangtua. Hanya karena saya dan istri sama-sama lulusan Psikologi dan pernah belajar teori Psikologi Perkembangan, saya pikir, kami akan siap menjadi orangtua bagi anak serta menghadapi segala dinamikanya karena sudah belajar ilmu sekaligus beberapa teorinya.

Ternyata saya keliru. Sangat keliru. Sejak saat itu saya merasa bersalah karena sudah menyepelekan situasi yang, belum pernah saya hadapi sebelumnya: menjadi orangtua.

Jadi orangtua itu sulit. Nggak semudah dan nggak seindah yang terlihat di media sosial. Apalagi, di posisi sebagai orangtua, saya masih amatir. Pemula. Masih harus belajar banyak hal. Utamanya perihal mengasuh anak.

Memang, di perkuliahan juga di berbagai buku yang pernah saya baca, banyak sekali teori dan kalimat indah yang diukir, tentang bagaimana menjadi orangtua yang super-duper baik di dunia ini.

Tapi, ada satu hal yang terlewati dan tidak secara rinci dijelaskan, yakni beberapa faktor eksternal yang sering kali terjadi si luar dugaan.

Faktor ekonomi, lingkungan tempat tinggal, juga kondisi psikologis anak dalam kurun waktu tertentu yang, jujur saja, sering kali bikin hilang kesabaran---meski saya dan istri sudah semaksimal mungkin mengelola emosi dengan baik.

Secara teori, orangtua mana pun memang dihimbau untuk selalu sabar dalam menghadapi tingkah dan segala perilaku anak.

Tapi, jika hal tersebut terjadi pada periode tertentu secara terus-menerus, yakin, sebagai manusia juga orangtua biasa, kita mampu menahan sabar sampai ambang batas maksimal?

Secara teori, kita dipaksa untuk selalu memahami anak. Hal tersebut memang sulit dimungkiri. Namun, apakah kemudian menjadi sangat salah ketika kita, sebagai orangtua, tersulut amarah karena audah kehilangan kesabaran dengan perilaku anak yang menguji kesabaran---seperti berteriak ketika marah, suka membanting mainan, dan lain sebagainya?

Anak saya yang kini berusia 3 tahun 9 bulan, beberapa kali menunjukan perilaku seperti itu.

Anggota keluarga yang lain sempat menenangkan saya dengan berkata bahwa, mungkin memang sedang memasuki masanya saja. Ada juga yang memperkirakan karena terpengaruh tontonan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun