Mohon tunggu...
Seto Wicaksono
Seto Wicaksono Mohon Tunggu... Human Resources - Recruiter

Menulis, katarsis. | Bisa disapa melalui akun Twitter dan Instagram @setowicaksono.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sebagai Alat Bantu Berhitung, Fungsi Kalkulator Itu untuk Memudahkan Bukan Menyulitkan

16 Juni 2020   13:15 Diperbarui: 16 Juni 2020   13:27 617
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi orang menggunakan kalkulator: timelogr.com

Sudah lama saya tidak berjumpa dengan beberapa teman kantor yang punya kelakuan random, karena selama tiga bulan terakhir kami kerja dari rumah. Rasa kangen ini sudah tidak dapat dibendung lagi, apalagi ketika mengingat kelakuan mereka yang konyol dan nggak ada akhlak. Sering kali memperdebatkan hal-hal yang terbilang sederhana. Receh.

Meributkan total harga yang harus dibayar ketika makan siang bersama pada jam istirahat kantor, misalnya. Dan kejadian ini bukan hanya terjadi satu kali, tapi berkali-kali.

Memasuki jam makan siang, saya bersama dengan empat orang teman lainnya selalu janjian untuk makan di suatu tempat. Kadang di warteg langganan, kadang makan mi ayam, bakso, ayam bakar, apa pun itu yang bikin kami semua selera. Dan kami biasa makan di tempat.

Kebetulan, saat itu kami sedang ingin makan mi aceh. Rasanya sudah terbayang, pasti akan gurih-gurih sedap disantap pada siang hari. Biar nggak seret, tentu kami pesan minum juga. Beruntung sedang ada promo paketan yang bikin kami semua sumringah. Mi aceh plus teh botol, harganya Rp19.000. Dengan yakin dan mantap kami langsung memesan paket tersebut.

Usai makan, kami biasa mengumpulkan uang untuk dibayarkan langsung, biar nggak terpisah-pisah. Saya yang sudah mencoba kalkulasi dari awal sudah langsung menyebut berapa total harga yang harus dibayar Rp19.000 x 5 orang, hasilnya ya Rp95.000. Namun, yang terjadi selanjutnya, mereka malah berdebat satu sama lain.

"Ah, masa sih segitu? Coba itu lagi, deh. Salah kali. Pake kalkulator, pake kalkulator." Begitu kata mereka yang sangsi dengan kemampuan saya dalam berhitung.

Kemudian, mereka membuka aplikasi kalkulator yang ada di hape masing-masing, dan mulai berhitung. Hasilnya, ya... sama, lah! Akhirnya, mereka mengakui mereka yang keliru.

Kali lain, kami kembali makan bersama, kali ini hanya bertiga. Kami lagi pengin sedikit hedon ala ala dan makan pasta dengan harga yang masih terbilang manusiawi. Harga satuannya Rp27.000. Kala itu, salah satu teman saya memiliki sikap yang sangat mulia karena dari awal sudah berniat untuk mentraktir kami makan siang.

Dari awal, saya dan seorang teman yang ditraktir, makan begitu lahap karena tidak memikirkan uang yang harus dibayarkan. Namun, sebagai teman yang baik, saya sudah menghitung dari awal, perkiraan budget yang harus dibayarkan adalah Rp81.000 untuk tiga orang.

Setelah selesai makan, drama dalam memperhitungkan berapa yang harus dibayar kembali dimulai. Lagi-lagi, dua teman saya berdebat berapa totalnya. Akhirnya mereka berhitung menggunakan kalkulator masing-masing, dan akhirnya sepakat total harganya sesuai dengan yang saya utarakan di awal, Rp81.000.

Perdebatan yang terlampau receh, tapi bikin sebel sendiri.

Pertama, mereka terlalu tergantung dengan kalkulator, padahal berapa total yang harus dibayarkan masih termasuk dalam perhitungan sederhana. Memang, kalkulator itu dibuat untuk memberi kemudahan bagi para penggunanya. Tapi, jangan sampai karena keenakan diberi kemudahan, kita jadi malas berhitung secara manual.

Kedua, ngapain juga pada ribut-ribut sendiri dan berdebat hal yang sama. Mereka ini nggak belajar dari pengalaman apa, ya? Soal total harga kan bisa langsung cek di kasir, atau minta ditunjukkan bill-nya saja. Hadeeeh.

Suka aneh memang kelakukan anak zaman sekarang. Semakin diberi kemudahan, malah semakin bingung apa yang sebaiknya dilakukan. Atau mungkin karena terlalu difasilitasi mangkanya jadi keblinger sendiri? Eh.

Pada akhirnya, teman-teman saya ini belajar dan sadar bahwa, mereka sudah terlalu bergantung pada kalkulator, sekalipun untuk perhitungan sederhana.

Maksud saya, jika untuk mengetahui berapa yang harus dibayarkan saat makan atau membeli sesuatu, kan bisa tanya ke kasir berapa total harganya. Itu bisa jadi dobel kroscek juga untuk para pembeli. Apalagi kita selalu disarankan untuk mengecek kembali apa saja yang dipesan, kan.

Di sisi lain, pakai kalkulator itu sebetulnya nggak salah-salah amat. Ya, mau bagaimana, memang itu fungsinya kalkulator diciptakan. Untuk memberi kemudahan bagi para penggunanya saat berhitung. Nggak peduli perhitungan mudah, sulit, atau rumit sekalipun macam hitungan yang melibatkan sin, cos, tangen, akar pangkat, dan lain sebagainya.

Jika saya dan beberapa teman makan siang bersama lagi, rasanya saya harus segera mengingatkan mereka, soal berapa total harga yang dibayarkan baiknya tanya ke kasir aja, lah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun