Menjadi seorang lulusan sarjana itu nggak mudah. Banyak beban sosial yang harus diemban dan nggak terbatas hanya pada satu jurusan saja. Saya rasa, apa pun disiplin ilmunya, semua akan mengemban beban sosialnya masing-masing.
Mulai dari bagaimana ilmu yang didapat bisa berguna untuk orang di sekitar, sampai dengan apa yang akan dilakukan setelah lulus. Tak terkecuali lulusan atau sarjana Psikologi seperti saya.
Bagi saya, anggapan anak Psikologi bisa membaca kepribadian seseorang dan disangka cenayang hanyalah pertanyaan template nan sederhana yang sudah biasa saya (juga anak Psikologi lainnya) terima.
Level pertanyaan tersebut belum ada apa-apanya. Bahkan kami, anak Psikologi, sudah mempersiapkan tanggapan template juga untuk pernyataan tersebut, saking seringnya nerima dan mendengar hal yang sama berulang kali.
"Maaf, saya mahasiswa dari fakultas dan jurusan Psikologi, bukan jurusan Perdukunan, apalagi Perindigoan". Begitu kira-kira jawaban saya ketika kadung mangkel.
Saya pikir, rasa mangkel jadi seseorang yang belajar Psikologi hanya sebatas itu aja. Nyatanya, setelah lulus pun masih ada hal lain yang harus dijelaskan secara perlahan kepada khalayak biar nggak salah kaprah tentang apa saja yang dipelajari dan setelah lulus bagaimanan, juga apa saja yang bisa dilakukan.
Di sisi lain, saya mafhum dengan kondisi tersebut. Sebab, Psikologi berbeda dengan beberapa disiplin ilmu lain yang memiliki perlengkapan atau belajar yang familiar dan sudah diketahui banyak orang. Ditambah, kalau pun ingin bekerja secara linier, jurusan lain lebih bisa diterka oleh orang-orang di sekitar.
Misalnya saja, jurusan kedokteran sudah banyak orang yang tahu, kelak akan menjadi dokter. Dan apa aja perlatan medis yang digunakan. Anak teknik sipil jadi arsitek, anak akuntansi kelak jadi akuntan dengan segala perlenglapannya, dan seterusnya, dan seterusnya.
Nah, giliran mahasiswa atau lulusan Psikologi, sering banget kebagian nggak enaknya. Pertanyaan seperti, "Nanti kalau udah lulus, memang mau kerja jadi apa?" seringkali diajukan oleh orang terdekat saya, salah satunya orang tua sendiri.
Di samping itu, saya juga menyadari, hal tersebut nggak terlepas dari jurusan Psikologi yang masih dianggap asing oleh sebagian masyarakat kita, dan perlengkapan selama belajar yang dirahasiakan karena adanya kode etik yang mengatur tentang kerahasiaan alat tes Psikologi.
Sebagai lulusan Psikologi, saya memang tidak langsung bekerja secara linier sesuai disiplin ilmu yang dipelajar. Saya pernah bekerja di salah satu bank ternama. Ketika nggak bekerja sesuai jurusan, saya pernah dibilang, "Lho, capek-capek kuliah 4 tahun lebih di Psikologi, kerjanya di bank?".
Lha gimana, kala itu, saya hanya ingin bekerja dan mendapatkan pengalaman kerja. Sampai akhirnya setelah bekerja selama tiga tahun di bank, saya bisa bekerja sesuai dengan disiplin ilmu di ruang lingkup HRD.
Ini yang saya pikir sebagian dari kita perlu tahu, ketika sudah lulus, anak Psikologi bisa bekerja sebagai apa. Baik secara linier maupun di luar ruang lingkup Psikologi itu sendiri. HRD, Psikolog, Pengajar, Peneliti, hanya beberapa di antaranya.
Selain itu, alih-alih dibilang agar bisa lebih memahami diri sendiri dan menjadi pribadi yang peka, mahasiswa Psikologi sering kali dibilang "berobat jalan". Nggak sepenuhnya salah, sih. Apalagi saya juga banyak teman yang kuliah di jurusan Psikologi juga mendapat insight tentang banyak hal terkait kepribadian diri sendiri.
Pada titik yang paling menyebalkan, ketika ingin sharing dan berbagi pengetahuan, mahasiswa Psikologi kadang dianggap sok tahu sekaligus disepelekan karena terkesan teoritis.
Dari komposisi mahasiswa, jurusan Psikologi ini terbilang unik. Betapa tidak, dari tahun ke tahun, jumlah mahasiswa laki-laki selalu lebih sedikit dibanding perempuan.
Dari pencarian secara mandiri sekaligus observasi kecil-kecilan yang sudah saya lakukan, hal tersebut bisa terjadi karena perempuan lebih memiliki kepekaan dari sisi perasaan maupun persoalan yang dihadapi.
Belum lagi, mahasiswa Psikologi dipersiapkan sebagai pendengar yang baik dan mesti sabar pada setiap sesi konseling (ketika memilih meneruskan studi untuk profesi Psikolog).
Selain itu, sebagai suatu disiplin ilmu, Psikologi juga terbilang dinamis. Berbeda dengan ilmu eksakta lain yang dikenal pasti. Dan sepertinya, banyak lelaki yang lebih menyukai belajar ilmu pasti. Sepertinya lho, ya. Apalagi jika ilmu yang dipelajari selama perkuliahan bisa diaplikasikan untuk pekerjaan yang diminati seperti IT atau desain grafis, misalnya.
Berdasar pada hal tersebut, wajar jika sewaktu kuliah, hanya terdapat 9 lelaki dari total 40 mahasiswa di kelas saya. Perbandingan tersebut cukup menjawab perbandingan untuk setiap angkatan mahasiswa Psikologi. Beberapa teman yang kuliah di jurusan Psikologi di kampus berbeda pun sulit untuk menolak anggapan tersebut.
Sebagai lulusan Psikologi, nggak jarang juga saya dianggap bisa menyelesaikan masalah sosial yang ada di lingkungan sekitar. Pada titik ini, rasanya saya sudah betul-betul begah dianggap tahu segala hanya karena saya mempelajari ilmu kejiwaan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan manusia.
Padahal kan, nggak semudah itu juga menelusuri alam pikiran individu satu dengan lainnya. Lagian nih ya, kayaknya nggak harus jadi mahasiswa Psikologi deh untuk bisa menyelesaikan suatu permasalahan.
Ada satu hal lagi yang bikin saya paling mangkel. Giliran pengin curhat atau ada masalah, apalagi soal percintaan, sering banget ngandelin mahasiswa Psikologi plus masukan dan kadang diminta ini teorinya apa, itu teorinya gimana. Terus, prediksi nantinya kayak gimana.
Sekali lagi, kami bukan cenayang. Mahasiswa Psikologi itu manusia biasa yang perlu temen curhat juga, kok. Selain jadi pendengar yang baik, kami juga kan pengin didengar dengan baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H