Sebagai seorang rekruter, sudah biasa bagi saya bertemu dengan banyak kandidat, melakukan wawancara sekaligus seleksi karyawan sesuai kebutuhan perusahaan.
Bagi saya, berbincang dengan para kandidat itu menyenangkan. Saya jadi mengetahui apa saja alasan dan motivasi mereka bekerja, kemampuan apa yang dimiliki, pengalaman apa yang bisa dibagikan. Seringkali, apa yang mereka ceritakan menjadi inspirasi untuk saya. Tentang beragam kesulitan yang pernah dihadapi oleh para kandidat dan bagaimana cara mereka menyelesaikannya.
Dan sebagai seorang rekruter, saya harus bekerja secara profesional. Meski saya mendapat inspirasi atau motivasi dari cerita yang dibagikan, perasaan tidak boleh serta-merta dilibatkan dalam memberi penilaian. Intinya, harus tetap objektif dalam melakukan seleksi karyawan.
Agar obrolan lebih terkesan mengalir dan terbuka, saya harus membuat para kandidat nyaman terlebih dahulu. Sebab, saya percaya, dalam kondisi yang nyaman, para kandidat akan lebih maksimal dalam menceritakan apa saja potensi dan kemampuan yang dimiliki.
Hal tersebut juga tidak bisa dipisahkan dari prasangka pribadi yang harus saya kontrol.
Sebagian dari kita mungkin sudah familiar dengan istilah "kosongkan gelas" yang digunakan dalam berbagai kesempatan. Dan itu yang harus selalu saya terapkan ketika memulai wawancara dengan kandidat. Berbicara tanpa prasangka. Bukan hanya pada saat bekerja, tapi juga dalam kehidupan sehari-hari.
Namun pertanyaannya, bisa kah kita tidak berprasangka dalam kehidupan sehari-hari? Entah ketika berhadapan dengan orang yang sudah dikenal atau pun orang yang baru ditemui.
Untuk menyamakan persepsi, sebagai rujukan, menurut KBBI, prasangka berarti pendapat (anggapan) yang kurang baik mengenai sesuatu sebelum mengetahui sendiri.
Percayalah, jika kita terlalu diselimuti oleh prasangka, rasanya tidak nyaman. Karena apa pun yang dipikirkan akan berujung pada pemikiran negatif atau stigma tertentu terhadap sesuatu.
Saya pribadi pun beberapa kali sempat mengalami hal tersebut sebelum melakukan proses wawancara dengan beberapa kandidat. Anggaplah ini sebagai suatu kesalahan. Betapa tidak, sebelum mengobrol satu-dua kata, saya sudah menduga-duga seperti apa watak kandidat. Cerobohnya lagi, saya menilai hanya dari penampilan luarnya saja.
Pada akhirnya, seorang kandidat yang saya pikir sebelumnya kurang mumpuni dari sisi kemampuan, nyatanya berbanding terbalik. Kandidat tersebut malah bisa memenuhi ekspektasi saya dan memiliki kemampuan yang dibutuhkan sesuai posisi yang dilamarnya.