Kemudian, yang saya dapat usahakan kala itu hanya terus mengerjakan skripsi tanpa mengeluh, hingga selesai. Beruntung saya diberi rezeki berupa dosen pembimbing yang paham akan kondisi saya pada waktu itu dan banyak teman yang mendukung secara moral. Diantara mereka tak sedikit yang menawarkan laptopnya untuk dipakai oleh saya agar pengerjaan skripsi menjadi lebih mudah.
Lantas, saya menolak. Bukan karena sombong atau belagu, tapi saya paham mereka pun butuh agar skripsi bisa segera diselesaikan.
Saya lebih memilih mengerjakan di warnet dekat rumah. Pada saat itu diantara banyaknya teriakan para remaja yang sedang asik bermain game, hanya saya sendiri yang fokus menyusun tugas akhir sebagai mahasiswa.
Saya melakukan itu semua bukan untuk keren-kerenan atau dianggap hebat, saya hanya sadar diri---dari diri saya, belum banyak yang dapat dibanggakan oleh orang tua. Selain saya juga punya beberapa tujuan dalam hidup, kuliah lulus tepat waktu, misalnya.
Perlahan, skripsi bisa saya selesaikan dengan baik setelah menyusun kembali dari awal, beberapa kali bimbingan dengan dosen, revisi, sampai akhirnya mendapat jadwal sidang skripsi.
Dan lagi, skripsi itu baiknya berproses. Biar sedikit tapi tetap dikerjakan. Sebab, skripsi tidak akan pernah selesai jika hanya diratapi. Dan satu yang saya percaya hingga saat ini, suatu hasil tidak akan berkhianat pada usaha yang sudah dilakukan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H