Sebagaimana yang kita tahu, kini banyak orang dengan mudahnya memberi label baper kepada seseorang saat marah atau tersinggung akan suatu hal khususnya pada saat bercanda.
Niatnya sih memang bercanda atau sekadar menggoda, tapi tentu ada beberapa faktor mengapa seseorang bisa tiba-tiba baper dan tersinggung meski biasanya mudah sekali diajak bercanda.
Yang paling sederhana menurut saya, ketika ada seseorang yang sedang dalam mood yang kurang atau bahkan tidak baik. Tidak semua orang bisa mengubah mood dengan diajak bercanda.
Ada yang butuh untuk menenangkan diri dengan caranya masing-masing. Tidak diajak ngobrol atau memilih untuk menyendiri lebih dulu, misalnya.
Soal bercanda, tidak semua orang pula bisa menerima candaan yang kita lontarkan. Bisa jadi karena punya pengalaman yang kurang mengenakan di masa lalu dan berkaitan dengan dirinya juga keluarga.
Atau yang paling parah, mungkin ada trauma dan hal menyakitkan di masa lalu yang tidak ingin diingat apalagi terulang kembali.
Jadi, bagi saya sih tersinggung memang akan selalu ada dan melekat dalam diri setiap orang, tergantung bagaimana seseorang menyikapi ketersinggungan tersebut, yang biasa ditemui lewat obrolan, candaan, juga tingkah laku.
Kecuali, jika seseorang sudah berdamai dengan apa yang dirasakan juga dilalui semasa hidup. Baginya, luka mungkin sudah seperti tawa, trauma sudah seperti penantian yang tak terduga.
Bercanda dan ketersinggungan adalah dua hal yang sulit dipisahkan. Siapa dan apa pun bisa jadi bahan bercandaan dan hal tersebut berbanding lurus dengan tersinggungnya seseorang terhadap suatu topik dalam bercanda.
Tentu kita masih ingat bagaimana dalam tour stand up comedy-nya, Pandji Pragiwaksono membahas soal kucing. Siapa yang menyangka cerita tersebut mendapat respon yang kurang menyenangkan dari banyak orang, khususnya para pecinta kucing.
Dalam vlog-nya yang sempat tayang di YouTube, bahkan Pandji Pragiwaksono mengaku betul-betul tidak menyangka akan adanya respon tersebut.
Saat ini juga sering sekali dengan mudahnya mengatakan dark jokes pada suatu candaan. Selama bermain media sosial, lebih sering saya temui di kolom reply twitter pada cuitan dari seseorang. "wah, dark jokes, nih", atau "parah, parah, gelap banget!", bisa juga "duh, dark banget ini".Â
Entah apa dan kenapa kata dark jokes menjadi berlebihan dalam penggunaannya, sedikit-sedikit dark jokes, apa-apa gelap.
Dalam film kartun, saya sudah terbiasa menikmati candaan dark jokes dari Family Guy. Film seri kartun asal Amerika ciptaan Seth MacFarlane ini memang terbiasa menyuguhkan candaan yang terbilang kontroversi, bahkan seringkali dark jokes, secara frontal menyinggung SARA, artis, atau tokoh tertentu tanpa sensor sedikit pun.
Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika kemudian tontonan bergenre adult animation atau animated sitcom ini dilarang penayangannya di beberapa negara.
Dengan segala canda tawanya, komedi tetap mengandung resiko. Sejatinya, membahagiakan semua orang itu di luar kuasa manusia. Demikian pula dengan komedi atau candaan, tidak dapat membuat semua orang tertawa, pasti ada saja yang tersinggung dengan segala pengalaman yang dirasakan sebelumnya.
Lalu bagi saya, dark jokes tetaplah bagian dari komedi yang, suka tidak suka, pasti akan tetap digunakan formulanya oleh sebagian orang secara langsung atau di media sosial.
Namun, memanfaatkan duka juga tragedi seseorang untuk panjat sosial, agar dikenal banyak orang, apalagi hanya sekadar membuat notoifikasi di media sosial menjadi ramai tentu menjadi persoalan lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H