Pada tahun 2013, tepatnya saat saya menjalani semester akhir sebagai mahasiswa Psikologi, entah kenapa tiba-tiba salah satu dosen mengajak saya beserta teman-teman lain berdiskusi di kelas. Diskusi ringan perihal permasalahan apa pun. Masalah perkuliahan, pribadi, atau pun sosial. Intinya, agar segala unek-unek, permasalahan, dan beban dalam menjalani perkuliahan bisa diselesaikan saat itu juga.
Maklum, mengingat saat itu kami semua tidak lama lagi akan berpisah, fokus pada diri sendiri, menyelesaikan semester akhir, dan harus menuntaskan skripsi masing-masing. Dosen saya juga berharap, dengan dibukanya sesi diskusi terbuka, selain bisa semakin memahami karakter satu sama lain, juga mengenali diri sendiri lebih dalam. Wajar saja, sebab dosen saya ingin para mahasiswanya lulus dengan baik dan memiliki karakter.
Ada beberapa pertanyaan yang diajukan, kemudian segera dijawab dengan baik, secara singkat namun jelas dan lugas oleh dosen kami. Beragam pertanyaan diajukan, dan ada banyak pula solusi juga penyelesaian masalah yang didapatkan. Mulai dari masalah secara personal, keluarga, hingga finansial.Â
Bahkan, beberapa teman saya ada yang sampai menangis ketika menceritakan permasalahannya. Selain karena masalah yang tergolong cukup berat, lebih dari itu, akhirnya dia berani bercerita setelah memendam bertahun-tahun lamanya. Wajar saja jika setelahnya begitu emosional, sampai meneteskan air mata.
Hingga saat ini, saya masih ingat betul pertanyaan apa yang diajukan kepada dosen di kelas, "Pak, sampai dengan saat ini, saya merasa terbebani dengan embel-embel mahasiswa Psikologi karena seringkali dianggap tahu segalanya tentang perasaan orang lain, harus memahami dan memberikan solusi bagi permasalahan yang ada. Tanpa orang lain tahu, saya pun memiliki masalah sendiri. Saya merasa kurang bebas dan sulit menjadi diri sendiri. Baiknya bagaimana?".
Pertanyaan tersebut bukan tanpa alasan. Dari awal kuliah hingga semester akhir, teman-teman termasuk orang di sekitar selalu menaruh ekspektasi cukup tinggi dan mengasosiasikan segala apa yang saya lakukan dengan jurusan kuliah. Kala itu, saya merasa serba salah, terlebih jika sedang berbuat kesalahan, walaupun sebenarnya terbilang cukup sepele.
Ketika saya sedang marah, butuh waktu sendiri, dan belum bisa  membantu permasalahan orang lain, bahkan ketika sedang berkata kasar pun, secara sengaja atau tidak, seringkali mendapat cibiran "masa udah kuliah di jurusan Psikologi tapi nggak bisa menyelesaikan masalah dan memahami orang lain, sih. Masa kelakuannya kayak gitu". Itu yang menjadi beban saya selama kuliah, sehingga saya merasa kurang bebas dan terbelenggu, seakan sulit mendapat ruang untuk menjadi diri sendiri.
Setelah saya menceritakan permasalahan tersebut, dosen saya hanya tersenyum dan menyampaikan wejangan yang sampai dengan detik ini saya ingat,
"Gini, Mas. Mulai sekarang, nggak perlu dengerin apa kata orang lain kalau memang nggak memberi manfaat atau pengaruh positif. Gelar sarjana mu nanti bukan beban. Dirimu bebas jadi apa pun yang diinginkan. Tapi, satu pesan saya, apa pun yang dirimu lakukan di masa mendatang harus bisa dipertanggungjawabkan".
Bagi saya, pesan tersebut begitu sederhana namun sarat akan makna. Sejak saat itu, rasanya beban menjadi berkurang dan seketika bebas dari belenggu nyinyiran orang. Sampai dengan saat ini pun saya menjadi lebih santai dalam menerima sindiran atau "omongan di belakang" dari orang lain. Apalagi jika saya sadar bahwa, hal tersebut tidak memberi manfaat apa pun.
Memang, banyak orang yang berkata menjadi diri sendiri itu sulit. Bagaimana tidak, alih-alih diberi apresiasi, saat ini terlalu banyak komentar yang dianggap tidak perlu bahkan cenderung negatif dan menjatuhkan ketika seseorang mencoba mengekspresikan dirinya sendiri. Sadar atau tidak, hal itu bisa menjadi beban tersendiri bagi seseorang dan efek laten dari hal tersebut adalah mengganggu kenyamanan seseorang.