Mohon tunggu...
Seto Wicaksono
Seto Wicaksono Mohon Tunggu... Human Resources - Recruiter

Menulis, katarsis. | Bisa disapa melalui akun Twitter dan Instagram @setowicaksono.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Para Milenial Ini Siap Bekerja atau Tidak, Ya?

12 April 2019   06:15 Diperbarui: 13 April 2019   10:04 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Para pencari kerja antusias menghadiri job fair di salah satu pusat belanja di Jakarta Selatan, Rabu, 10 April 2019 (dok. pribadi).

Setelah pada tulisan sebelumnya saya bercerita tentang ketidaksiapan para kandidat pada saat wawancara kerja, kali ini saya akan bercerita soal keresahan saya dalam menghadapi para pencari kerja, khususnya mereka yang tergolong sebagai generasi milenial. Saya sendiri berprofesi sebagai perekrut junior.

Sebagai gambaran, menurut beberapa ahli, generasi milenial adalah individu yang lahir dalam rentang tahun 1980-2000 (ada pendapat lain, 1980-1997). Kurang lebihnya demikian.

Saya sendiri pernah mengikuti seminar tentang generasi milenial dalam dunia kerja. Dijelaskan ketika itu, anak milenial ini memang tergolong pintar namun sulit diprediksi. Saya mengalami hal ini. Pada saat wawancara, saya baru bertanya tentang bagaimana gambaran dirinya, dengan santai dan polosnya dia jawab,

"Pak, menurut teman saya, kalau wawancara kerja ga perlu jujur banget, bohong aja sedikit, ga apa-apa, katanya."

Kenapa kandidat ini amat sangat jujur, ya?

Pada kesempatan lain, selalu ada kandidat yang membuat saya antusias. Kandidat ini mengaku suka membaca. Dalam bias saya, orang yang suka baca itu biasanya punya wawasan yang luas. Sekali lagi, dalam bias saya. Percakapan kami,

"Oh, Mba suka baca buku. Kalau boleh saya tahu, buku bergenre apa?"

"Saya suka baca, Pak, tapi bukan baca buku."

"Lho? Terus baca apa, Mba?" tanya saya yang mulai bingung.

"Saya suka baca update status orang, Pak. Di Twitter, Facebook, WhatsApp, pokoknya sosmed, termasuk Instagram."

Jawaban yang di satu sisi menarik, pada sisi yang lain tentu "nyeleneh".

Soal membalas email, beberapa anak milenial ini memang paling tahu, bagaimana cara yang paling efektif, khususnya ketika apply lamaran kerja. 

Saya pernah menerima email lamaran kerja dari satu kandidat yang tertujunya untuk banyak perusahaan, salah satunya untuk saya, kalau tidak salah hitung, sekitar 20 perusahaan. Sangat efisien sekali, dia tahu cara menerapkan peribahasa, "sekali dayung, dua, tiga pulau terlampaui."

Masih perihal membalas email. Pernah suatu ketika saya kirim undangan untuk wawancara kerja, sebagaimana biasa, saya perkenalan diri dulu, dapat data dirinya dari mana, lalu informasi mengenai jadwal dan lokasi, penutupnya apa saja yang harus dibawa dan tidak lupa ucap terima kasih. Kandidat ini hanya jawab, "I will." Ketika itu saya langsung cek email berulang kali, salah-salah, saya malah bertanya, "will you marry me?".

Masih berbekas, ada satu kejadian dua orang kandidat yang saya infokan secara langsung, mereka berdua lolos dan akan dijadwalkan untuk sign contract. Mereka berdua dengan kompak menolak, bukan karena gaji, bukan soal sistem kerja, akhirnya saya tanya,

"Kalau boleh tahu, kenapa kalian menolak untuk sign contract, ya?"

"Gini, Mas, kami berdua dari kuliah, urus skripsi, sampai bimbingan dosen selalu berdua. Sekarang, kami berdua memang diterima, tapi kami ga bisa join karena kami beda project (klien), nanti kami ga bisa bareng-bareng lagi."

Saya langsung terperanga dengar alasannya, dan langsung spontan lanjut bertanya,

"Loh? Kalian kan masih satu kantor walaupun beda project? Apa bedanya?"

"Iya, Mas. Kami memang masih satu kantor, tapi nanti ga bisa berangkat dan pulang bareng lagi."

Yang ada dalam pikiran saya adalah, sampai kapan mereka mau berduaan seperti itu?

Cerita lain, ada kandidat yang dijadwalkan untuk sign esok hari, dia bilang,

"Maaf saya ga bisa, Mas, besok saya ada jadwal nonton sama temen saya."

Alasannya karena nonton. Tidakkah ada alasan lain?

Tentu, saya tidak akan menggeneralisir para milenial. Dalam seminar dijelaskan, semua kembali lagi pada faktor pola asuh dan lingkungan sosial. Banyak anak kelahiran dalam rentang tahun 1980-2000an alias milenial yang bersikap baik dan siap dalam bekerja. Pernyataan ini saya buat sebagai tambahan, karena saya sendiri lahir pada tahun 1991.

Cerita ini diambil dari kisah nyata, berdasarkan pengalaman pribadi, tanpa maksud menggeneralisir pencari kerja di mana pun.

Untuk semua pencari kerja, tetap semangat dalam mendapatkan posisi dan pekerjaan yang diinginkan, rezeki dan karir yang baik menanti kalian semua.

Salam hangat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun