Seorang warga negara asing (WNA) menyiramkan cat berwarna merah ke dinding sisi timur Tugu Yogya, Minggu (5/7/2015) siang. Belum diketahui, apa alasan bule perempuan yang belum diketahui identitasnya itu dalam melakukan aksi tersebut... http://regional.kompas.com/read/2015/07/05/16442201/Seorang.Bule.Siram.Tugu.Yogya.dengan.Cat.Merah
dan bla bla bla blaa... tulisan di atas dan tulisan serupa lainnya setidaknya menghiasi timeline Facebook dan Twitter saya kemarin... berita sederhana "seorang bule waton ngecat tugu" yang ditulis dalam berbagai versi dan judul di masing-masing media ini nyatanya malah banyak membuat saya ingin memaknai lagi keberadaan tugu Jogja saat ini...
Tugu (jika saya tulis 'tugu' saja maka merujuk pada tugu Pal Putih di Jogja yang ada saat ini yaa) nyatanya memang beberapa kali mengalami 'senggolan-senggolan' yang bisa memancing emosi beberapa pihak. Misalnya: Mobil Plat-B Tabrak Tugu Jogja http://news.detik.com/berita/2221133/bruk-mobil-plat-b-tabrak-tugu-yogya atau peristiwa semacam "Wisatawan berfoto sambil memanjat tugu, dll" yang dalam beberapa kesempatan saya justru melihat bahwa tugu akan menjadi 'berita' saat ada 'orang luar Jogja' yang berbuat aneh-aneh di daerah (sekitar) Tugu... Nyatanya memang begitu, beberapa teman saya bahkan beranggapan bahwa "yang mau foto-foto di Tugu itu cuma orang luar Jogja, orang asli Jogja ga akan pernah berani foto disana"... Tugu dianggap sangat sakral yang 'bahkan sebutir debu pun tidak diperbolehkan menempel disana', setidaknya begitulah saya menggambarkan secara 'terlalu ekstrim'... Iya sihh... kadang-kadang saya kepikiran juga hal-hal sakral seperti itu...
"https://singgahjogja.files.wordpress.com/2013/03/tugu-yogyakarta.jpg"
Tapi mungkin bagus kalau sedikit mengulik si tugu cantik ini...
Diawali dengan kenyataan bahwa Gunung Merapi, Tugu Jogja, Kraton dan Pantai Selatan (Parangkusumo) terletak dalam satu garis lurus... http://yogyakarta.panduanwisata.id/daerah-istimewa-yogyakarta/kota-yogyakarta/garis-lurus-merapi-tugu-kraton-dan-pantai-selatan/ dari fungsi ini, ada filosofi yang ditanamkan mengenai letak/posisi dari Tugu... HANYA... tugu yang dibangun pada waktu itu adalah tugu Golong Gilig, bukan Tugu pal Putih seperti yang kita lihat sekarang... Memang ada apa dengan tugu yang sekarang...?? Bangunan Tugu mula-mula tidak seperti saat ini. Dahulu Tugu tiangnya berbentuk silinder (gilig) yang mengerucut dan pada puncaknya berbentuk bulat (golong) dengan ketinggian 25 meter dan disebut Golong Gilig yang menggambarkan Manunggaling Kawula Gusti yang berarti pemersatu Rakyat dan Penguasa... Pemahaman yang berusaha dihapuskan oleh Belanda dengan cara mengganti bentuk-bentuk prasasti yang bermakna kemuliaan milik raja dan terkandung dalam Tugu Pal Putih saat ini. Bisa dibaca dengan cukup ringan disini http://jogjareview.net/istimewa/tugu-golong-gilig-filosofi-dan-sejarah-yang-hilang/ . Artinya, untuk keraton sendiri (menurut saya lhoo) tugu saat ini lebih banyak berperan sebagai penanda lokasi... saja... (yaahhh, meskipun sebenarnya ada banyak yang bisa dilukiskan oleh ornament ukiran daun, air, atau prisma, dll yang ada di tugu)
Ada apa sih dengan hal yang disebut sebagai Manunggaling Kawula Gusti itu...?? Sederhananya... Dasar kepercayaan Jawa adalah keyakinan bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini pada hakikatnya adalah satu atau merupakan kesatuan hidup. Bahwa kehidupan manusia adalah suatu perjalanan yang penuh dengan pengalaman religius... Budaya Jawa sedikit banyak merumuskan kehidupan manusia dalam dua alam (kosmos), makrokosmos dan mikrokosmos... Makrokosmos adalah sikap dan pandangan hidup terhadap alam semesta yang mengandung kekuatan supranatural dan penuh dengan hal-hal misterius. Mikrokosmos adalah sikap dan pandangan hidup terhadap dunia nyata.... Sementara tujuan utama dari hidup adalah mencari dan menciptakan keselarasan atau keseimbangan antara dua alam tersebut...
Pemahaman ini yang diwujudkan menjadi unsur-unsur dasar pembentuk tugu.. Maknanya adalah 'tujuan akhir dari manusia adalah Tuhannya'. Manusia sebagai makhluk sosial yang hidup di alam semesta dengan segala bentuk aktivitas dan keragaman budaya mempercayai adanya Tuhan, pencipta alam semesta. Manusia hidup karena Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan. Kepercayaan yang menjadikan manusia harus selalu mengingat Tuhan dan harus selalu memiliki kepasrahan dan kepercayaan kepada Tuhan. Dalam konteks mikrokosmos, tugu bermakna seseorang raja sebagai perwujudan Tuhan di dunia, yang merangkul dan mengajak masyarakatnya untuk selalu bersatu menghancurkan dan memusnahkan penjajahan.... Konsep dasar penyatuan antara rakyat dengan Tuhan yang diwakili oleh raja inilah yang menjadi maksud dari Manunggaling Kawula Gusti dan tergambar dalam Tugu Golong Gilig...
Dari hal paling mendasar di sisi filosofi ini yang pada akhirnya membuat saya berpendapat bahwa Tugu Putih tidak se-sakral itu ahhh... dibanding menjadi simbol keraton, tugu saat ini lebih berfungsi sebagai ikon Yogyakarta... Misalnya: jadi spot fotografi yang klasik... atau jadi background buat pertunjukan tertentu (saya pernah sihh)... Hhahahaha... Nyatanya Tugu Pal Putih ini pernah buat video mapping juga kan..?? Kalau memang sakral mestinya hal-hal 'entertain' kaya gitu ga boleh (atau setidaknya diprotes keras) dong yaa... :)) Lantas kalau memang ga se-sakral itu, kenapa 'warga Jogja' marah sebegitunya saat tugu 'kena cat' (bukankah itu berarti sama saja dengan yang terjadi pada vandalisme di pertokoan, taman, dll.) atau lecet dan semacamnya...?? Yaahhh, mungkin karena dengan kena cat atau lecet itu berarti mengurangi keindahan tugu sewaktu masuk bingkai/frame foto... mungkin saja yaaa.... :))
Â
salam... setoprayogi
*juga mengambil intisari dari berbagai sumber*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H