Di panggung, Prastiti berputar agung. Iring-iringan musik terasa lebih bergairah. Sorak-sorai lebih menggema. Mata dara yang belum genap 17 tahun tak lagi menguasai semesta. Mata semesta tak mampu menjangkau matanya di balik topeng.
Di dalam tubuh Prastiti, Mok Ampir mengetuk pintu hati gadis itu. Seketika terbukalah ruangan yang amat lebar dan remang-remang.
Di atas kursi panjang, seorang gadis menangis tersedu-sedu. Roh Agung sempat trenyuh, haru, manakala ia melihat wanita di sana begitu cantik. Kecantikan yang belum pernah ia temui sebelumnya. Selain itu, Roh Agung yang buruk rupa merasa dirinya belum pantas bertemu dengannya. Tapi transformasi rupa memang tak sulit bagi Roh Agung seperti dirinya.
Maka ia pun mengubah wajah serta tubuhnya menjadi seorang lelaki tampan dan bersinar.
Prastiti masih tersedu. Mok Ampir pun membelai rambut indah itu, seolah ingin gadis itu berbagi kesedihannya.
"Wahai Prastiti, apa yang membuatmu menangis tersedu demikian?"
Tatapan Prastiti senantiasa kosong menghadap lantai. Kedua kaki diayun-ayunkan. Kedua tangan meremas paha. Topeng dibiarkan tergeletak di atas meja kecil hingga nampak wajah gadis itu oval, ranum, dan bermata lembap. Ia sama sekali tak menyahut atau mengerling ke arah pemilik suara yang pertama kali memasuki ruangan pribadinya itu.
"Aku sendirian. Aku sendirian. Aku sendirian," Prastiti bergumam tak tentu.
"Tidak, Prastiti. Aku ada di sebelahmu."
"Aku sendirian. Aku sendirian. Aku sendirian."
Tangan Mok Ampir meraih pipi Prastiti, tapi kemudian segera disambut oleh nyalang mata yang mengerikan. Ditepisnya kuat-kuat. Prastiti berdiri tegap di hadapan Roh Agung. Sebelah kaki diayunkan jauh ke belakang sebelum akhirnya menendang Roh Agung yang tampan dan bersinar itu.