Mohon tunggu...
Seto Permada
Seto Permada Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Penulis Konten

Penulis Cerpen

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Minim Pengawasan Dana Desa, Istana Dadakan Banyak Bermunculan

4 September 2017   21:04 Diperbarui: 4 September 2017   21:09 1385
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pernahkah membayangkan sebelumya di zaman sekarang ada istana megah yang dibangun dalam waktu singkat? Di desa pelosok pula? Mungkin sulit dibayangkan, tapi inilah kenyataannya. Bangunan istana mereka memang tidak bisa disejajarkan dengan Istana Nabi Sulaiman a.s atau Istana Negara kita. Tapi cukup mengkhawatirkan, sebab dalam waktu singkat sudah bisa menyaingi istana para pedagang mujur yang dibangun selama puluhan tahun.

Minimnya pengawasan dana desa membuat pihak-pihak yang seharusnya diawasi semakin menyepelekan kinerja pemerintah. Mereka merasa aman. Merasa bebas. Mereka merasa tidak diawasi, seakan-akan tidak memiliki Tuhan sama sekali. Menurut saya, inilah fenomena degradasi moral yang patut diberi perhatian lebih.

Tak jarang, para pemangku desa yang baru menjabat beberapa tahun saja sudah bergaya hidup bagai jutawan atau milyader. Namun tentu saja tidak semuanya. Saya menggaris-bawahi khusus "pemangku desa yang seharusnya diawasi". Boleh semuanya, maupun yang hanya dicurigai saja. Terutama mereka yang menggenggam proyek infrastruktur desa pelosok yang jauh dari akses publik.

Apa lagi yang bisa diambil dari desa pelosok? Sudah lama desa pelosok terabaikan dari segi pembangunan infrastruktur. Begitu ada dana desa yang jumlahnya miliaran, warga hanya bisa mengecap-ngecap lidah. Jalanan masih berlubang, begitu diperbaiki hanya ditambal lubang-lubangnya saja. Pembangunan desa yang berhasil dan masuk ke berita di layar kaca tampil sebagai fatamorgana.

Sejak disahkannya Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 yang mengatur tentang pengawalan dana desa, sampai sekarang masih banyak warga yang merasa resah. Saya sangat menghormati Bapak Presiden Jokowi karena selalu perhatian dengan kondisi infrastruktur di desa maupun tempat-tempat tertinggal. Namun, tanpa adanya pengawasan yang maksimal, saya rasa, impian desa yang lebih berkembang akan sulit terbangun.

Apakah undang-undang itu betul ada, atau hanya fiktif? Atau malah cuma dongeng sebelum tidur? Kemudian rakyat dibiarkan memimpikan desa tercinta maju pesat dengan terbangunnya akses jalan raya modern, lebih banyak bangunan penyalur aspirasi publik yang kredibel, dan juga ikon-ikon desa seperti tempat wisata dan sumber kebudayaan dimaksimalkan.

Tapi itu hanya mimpi. Saya berharap statement"fiktif" itu tidak telanjur mendarah-daging dalam masyarakat. Saya juga berharap mimpi itu lekas menjadi kenyataan yang manis.

Ketika saya berada di antara masyarakat, saya merasakan betul kegelisahan mereka. Antara harap dan takut. Bahkan ada yang mencampurkan keduanya menjadi satu. Takut sekaligus berharap. Akibatnya tidak ada suara keras sama sekali yang keluar dari hati mereka.

Mereka menginginkan hero sungguhan. Bukan yang jatuh dari langit atau yang tiba-tiba muncul dari kegelapan dan bergaya seperti malaikat. Soalnya, mereka ingin melapor pada siapa? Mulai dari kabupaten sudah dicurigai, merembet ke kecamatan, hingga ke desa dan pelaku politik kotor kecil-kecilan. Rata-rata dari mereka juga tidak mengerti IT. Meskipun sudah dihadirkan portal mengenai pengaduan publik terhadap penyelewengan dana desa, tentunya ini masih jadi problematika yang cukup kompleks.

Akibatnya, cuma ada suara yang simpang-siur, gosip sana-sini, dan juga beragam komentar pedas yang percuma. Rata-rata para pemangku desa pelosok setempat sudah punya telinga yang tebal. Mereka sudah menyiapkan perisai dari mulut-mulut yang merasa tidak puas. Jadi, apa pun komentar warga, mereka tetap asyik membangun istana pribadinya. Sampai ada istilah begini:

"Sekarang kalau mau kaya gampang. Tidak perlu pesugihan dengan tumbal. Cukup jadi koruptor, istana pribadi gampang dibangun."

Banyak warga memiliki kemampuan sosial yang minim seperti saya. Saya sungguh bersyukur masih ada platform gratis dan luar biasa seperti Kompasiana ini untuk menyampaikan uneg-uneg tanpa menyinggung seseorang. Ketika permasalahan publik sudah banyak yang mengakses, apalagi membaca, itu sudah bagus sekali.

Ironisnya, tidak sedikit warga yang dengan senang hati ikut membangun istana dari sang koruptor dana desa. Alasan utamanya karena mereka perlu uang untuk bertahan hidup. Dana desa untuk membangun istana pribadi dan keringat pekerjanya dibayar dengan uang mereka sendiri. Menurut saya ini sudah masuk dalam kategori perbudakan di zaman modern.

Tulisan ini hanyalah setitik debu di antara debu-debu yang kian menggejala. Saya hanya bisa berharap semoga permasalahan ini lekas selesai tanpa harus membebani pemerintah lebih berat lagi. Saya juga berharap kalau permasalahan ini hanya terjadi di sedikit tempat saja. Saya yakin Bapak Presiden Jokowi dan menteri-menteri idaman saya sanggup mengatasi permasalahan yang fundamental ini.

Purworejo, 04 September 2017

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun