Pada tahun 2020 ini merupakan tahun perhelatan Pilkada atau pemilihan kepala daerah di Indonesia. Pilkada 2020 ini akan dilaksanakan pada 270 daerah di Indonesia yaitu 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota. Perhelatan Pilkada 2020 yang semula akan dilaksanakan pada 23 September 2020, namun di sisi lain keadaan Indonesia yang sedang pandemi Covid-19 membuat hari pencoblosan diundur hingga 9 Desember 2020 mendatang.
Menurut Menko Polhukam, Prof. Mahfud MD menyampaikan untuk Pilkada 2020 tidak ada alasan yang cukup meyakinkan untuk penundaan Pilkada. Serta mempertanyakan kalau saat pandemi itu apakah pemerintahan tidak ada, serta pemerintah tidak tahu sampai kapan pandemi ini berakhir. Maka kesimpulan dari pemerintah untuk Pilkada 2020 tetap dilakukan untuk melancarkan sistem pemerintahan serta menghidari penyelewengan kekuasaan.
Pilkada Diadang Pandemi
Namun di sisi lain pandemi Covid-19 membuat banyak pihak menolak Pilkada 2020 untuk dilaksanakan. Dilihat dari situs resmi covid19.co.id yang mengungkapkan data statistik kasus Covid-19 di Indonesia terus mengalami kenaikan setiap harinya. Jika dilihat dari data tersebut, Indonesia belum nampak tanda-tanda penurunan pandemi.
Jika dilihat dari asas hukum tentang peraturan perundang-undangan yaitu lex posterior derogate legi priori yang artinya bahwa hukum yang terbaru (lex posterior) mengesampingkan hukum yang lama (lex priori), maka regulasi di masa pandemi ini untuk didahulukan dibanding yang lainnya termasuk Pilkada. Asas ini biasanya digunakan dalam hukum nasional maupun di tingkat internasional.
Namun di sisi lain keadaan Indonesia yang masih berada dalam keadaan darurat bencana yang ditetapkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang merujuk kepada Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Status Bencana Non alam Covid-19. Serta dalam kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar untuk mengendalikan penularan Covid-19 di masyarakat yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar. Dalam PP tersebut, Kementerian Kesehatan merilis turunannya yang berupa Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar. Dalam peraturan-peraturan tersebut, telah jelas bahwa pembatasan sosial di masyarakat harus dilakukan untuk mengendalikan penyebaran Covid-19.
Berbagai Masalah Timbul
Jika dilihat Indonesia yang sedang dalam keadaan darurat bencana, maka sebaiknya untuk menyelesaikan atau meminimalkan risiko-risiko dari bencana yang sejalan dengan UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Dalam memulihkan keadaan saat ini, perlu usaha ekstra bahkan pengorbanan untuk menunda kegiatan-kegiatan besar terlebih dahulu. Serta Indonesia saat ini dihadapkan oleh jurang resesi ekonomi yang menurut Menteri Keuangan, Sri Mulyani yang mengungkapkan pertumbuhan ekonomi kuartal III dan IV nanti akan minus. Di sisi lain perhelatan Pilkada menghabiskan dana yang banyak di tengah situasi darurat di Indonesia, maka diperlukan kecermatan pemerintah untuk melihat dan membaca situasi saat ini. Dengan menyelesaikan atau meminimalkan permasalahan pandemi ini kemudian ke permasalahan Pilkada.
Banyak negara yang tahun ini menunda Pilkada karena Covid-19, menurut laporan Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA) yang sejak tanggal 21 Februari sampai 20 September 2020 terdapat 71 negara dan teritorial yang memutuskan untuk penundaan pemilu nasional serta daerah karena Pandemi Covid-19. Namun ada 23 negara yang tetap menggelar pemilu serta 48 negara lainnya menetapkan menunda. Hal ini melihat angka Covid-19 terus menaik yang tercatat setidaknya sudah ada 31.783.676 orang terinfeksi Covid-19 menurut data Worldometers.
Pelanggaran Demi Pelanggaran Timbul
Dalam keadaan seperti itu, pemerintah Indonesia mempertegaskan untuk melaksanakan Pilkada 2020 yang melihat dari negara-negara yang melakukan pemilu di tengah Pandemi seperti Korea Selatan dan Singapura. Disini menurut penulis terdapat kesalahan logika berpikir atau analisis pemerintah yang memutuskan untuk melanjutkan Pilkada 2020 melihat dari negara-negara maju seperti Korea Selatan dan Singapura.
Dua negara tersebut melanjutkan pemilu dikarenakan angkat Pandemi Covid-19 sudah bisa tertangani dan kurvanya menunjukkan penurunan serta yang terpenting adalah ketertiban masyarakat yang taat terhadap protokol kesehatan untuk menghindari penularan Covid-19. Sedangkan jika dilihat di Indonesia yang angka Covid-19 belum bisa tertangani dan semakin naik, serta melihat perilaku masyarakatnya yang cenderung lengah bahkan mengabaikan pandemi ini dengan melakukan pelanggaran protokol kesehatan.
Hal ini dibuktikan dengan sejumlah daerah yang melakukan perkumpulan masal dalam rangka kampanye. Mulai dari membuat konser besar-besaran sampai arak-arakan ataupun kegiatan yang menghiraukan protokol kesehatan dengan temuan Bawaslu RI telah terjadi sebanyak 243 pelanggaran protokol kesehatan Covid-19 saat pendaftaran bakal calon Pilkada 2020. Hal itu disebutkan oleh Fritz Edward Siregar sebagai Anggota Badan Pengawasan Pemilu (Bawaslu) yang memantau hari pertama kampanye terdapat delapan kegiatan selama kampanye Pilkada 2020 yang terindikasi melakukan pelanggaran protokol kesehatan.
Mengaca Peristiwa Lain
Tentu pelanggaran protokol kesehatan telah melanggar hal-hal yang sudah ditetapkan dalam peraturan terbaru pada Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) Republik Indonesia Nomor HK.02.03/MENKES/413/2020 tentang pedoman pencegahan dan pengendalian Covid-19. Seperti pemaparan Menko Polhukam, Prof. Mahfud MD menyampaikan soal pembubaran kegiatan yang diselenggarakan oleh KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia), beliau mengungkapkan walau ada regulasi yang mengatur kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum dalam UUD 1945 Pasal 28E Ayat (3) dan UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Namun beliau mengungkapkan di masa pandemi ini harus berpatokan dan memakai regulasi terbaru yang diterapkan, salah satunya pelarangan berkerumunnya orang banyak.
Jika dilihat dari paparan Prof. Mahfud MD tersebut sudah jelas beliau yang memaparkan bisa untuk menunda penerapan regulasi sebelumnya yang terhalang oleh regulasi terbaru karena keadaan darurat negara karena pandemi ini. Maka dengan statmen Menko Polhukam tersebut bisa untuk berkaca dalam permasalahan pilkada yang mana regulasi dalam menjalankan Pilkada bisa dihalangi oleh regulasi-regulasi terbaru menengenai situasi masa pandemi. Hal ini dalam upaya menegakan asas lex posterior derogate legi priori yang sudah dijelaskan di atas. Dan yang terpenting adalah keselamatan rakyat seperti kata adagium latin, salus populi suprema lex esto yang artinya keselamatan rakyat adalah hukum yang tertinggi. Pemerintah dapat untuk segera mengambil ruang atau celah yang ada dalam UU Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang memberi memberi ruang untuk penundaan Pilkada yang dilaksanakan pada tahun berikutnya dengan seiringnya pandemi Covid-19 sudah mulai bisa terkendali termasuk dengan ditemukannya vaksin.
Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Hukum UII Yogyakarta, CEO SEGAP Media ( www.segapmedia.online )
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H