Bukan hal yang asing dari stetoskop, alat ini digunakan untuk mendengarkan suara jantung atau suara nafas. Di dunia medis dikenal sebagai pemeriksaan auskultasi. Stetoskop juga bisa sebagai identitas profesi, medis maupun paramedis pasti membawa alat ini. Bahkan pasien akan merasa belum diperiksa kalau alat ini belum menempel ke dadanya.
Berbicara sebagai identitas profesi, perawat profesi terbanyak dipelayanan kesehatan jarang ditemui membawa stetoskop. Kebanyakan mereka kurang percaya diri membawa stetoskop untuk dipergunakan sebagaimana mestinya. Fenomena di lapangan, perawat hanya membawakan stetoskop untuk tim medis visit ke pasien. Tidak tau apakah itu protap atau hanya menghormati profesi lain.
Pada tahun 2012 saya praktek profesi Ners di salah satu rumah sakit swasta terkenal dikota Malang, saya melihat budaya seperti itu sering terjadi. Ironisnya perawat membawa stetoskop ini dengan menaruh dibahunya untuk mengantarkan visit. Sesampai dipasien diambilnya stetoskop dibahu perawat, “bagai cantolan stetoskop berjalan”... batin saya.
saya mengira terjadi hanya di RS tersebut, ternyata tahun 2015 ini, dengan seiring disahkannya UU No. 38 tentang Keperawatan, pemandangan hal ini pun terjadi di RS Ibu Kota. Keperawatan sebagai mitra, keperawatan sebagai profesi, harkat martabatnya dimana?
Seharusnya stetoskop ini dipergunakannya untuk mengkaji secara mandiri, melaksanakan asuhan keperawatan secara holistik. Bukan hanya melaksanakan tindakan kolaboratif saja dengan melupakan jati diri keperawatan.
perawat bukan untuk disegani tetapi menghormati profesi lain itu adalah kewajiban.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H