Ini hanya soal opsi. Setiap penulis tentu bebas memilih gendre atau tema tulisan sesuai dengan minat, kehendak, pendidikan, penguasaan materi, pengalaman, tujuan, latar belakang, kesiapan mental dan atau motivasi masing masing, terlepas apakah hasil karyanya itu akan banyak dibaca, digemari dan diapresiasi khalayak ramai atau tidak. Bagi saya sekarang ini, bisa meluangkan seupil waktu untuk menulis atau ‘mengintip’ tulisan temen-temin dan melempar komentar di Kompasiana maupun media lain sudah sangat bersyukur kendatipun hanya sebagai wahana hiburan, menghilangkan kejenuhan dan tentu mencari sesuatu info juga. Oleh sebab itu saya tidak memikiran soal HL, TA atau masuk katagori ter-teran lainnya, termasuk untuk memperoleh tiket masuk Istana Negara ‘menemani’ santap siang RI-1 idola saya, Djoko Widodo alias Jokowi. Masa bodo, titik!!
Sebenarnya ketika masih muda, saya tertarik dengan aktifitas maupun tulisan tulisan yang membahas hal serius, beraroma politik dan organisasi. Entah atas pertimbangan apa ibu saya plus isteri, mewanti wanti secara ‘politis’ agar saya menjauhi hal hal yang bersinggungan dengan politik. “Gak pake alasan, pokoke jangan berpolitik” pintanya. Makanya saya sedikit ngerem untuk urusan tersebut. Namun demikain, secara naluriah saya sempat kecemplung juga pada kegiatan politik kecil kecilan meskipun cuman sebagai ‘figurant’ atau penggembira doang. Dalam hal organisasi sempat pula menikmati suka dukanya (SuDuk) sebagai pelaku inti, semacam organisasi kepemudaan, kampus, social ekonomi, seni budaya & olah raga, serikat buruh, kelompok diskusi dan sebangsanya, termasuk diajak berperan serta mengelola media penerbitan fungsional (majalah perusahaan) selaku staff redaksi dan reporter paro waktu, yang kala itu saya diberi tanggung jawab rubrik yang berkaitan dengan organsasi buruh, koperasi, hiburan, berita keluarga, surat pembaca dan sesekali diminta membuat artikel teknologi yang ada dilingkungan perusahaan. Saat itu saya tentu harus menulis bergendre surius, ilmiah, dengan seabrek data dalam bentuk metrix maupun grafik agar gampang difahami dan tentu harus bisa dipertanggung jawabkan keakuratan informasinya.
SUka-DUKanya, Dalam kegiatan itu, SUkanya saya jadi banyak dikenal orang, diberi kemudahan kemudahan tertentu serta sering diajak blusukan kemana mana, menemui pejabat teras perusahaan atau pemerintah, ikut dengar pendapat dan diskusi dengan DPRD atau DPR Pusat dan lain lain. Sedangkan DUKanya jika sudah dikejar kejar dead line, sementara artikel yang harusnya angkat cetak belum benar benar siap (apalagi waktu itu wajib lulus sensor dahulu dari big boss, maklum jaman Orba). Nah kalau sudah seperti itu, kepala rasanya cekat-cekot + cenat-cenut, bekerja harus sampai larut malam bahkan rela tidak tidur, padahal tugas ini hanyalah kerja sambilan (paro waktu) karena saya punya tanggung jawab utama sebagai karyawan staff perusahaan.
Runyamnya jaman itu tidak semudah sekarang dalam mencari data yang tinggal klik via google, munculah berjuta infomasi yang kita inginkan. Pencarian data dilakukan secara manual, mendatangi instansi tertentu dengan membawa surat resmi, tape recorder (untuk merekam wawancara) dan lain lain, dimana datanyapun terkadang masih mentah, celakanya lagi kita juga masih menggunakan mesin ketik yang serba error, salah ketik mesti di tip-ex dan hasilnya kotor. Setiap daft naskah dan atau menerima naskah dari konstributor luarpun lazimnya masih berupa tulisan tangan, terkadang ada yang kayak tulisan dokter lagi, dimana untuk menterjemahkan, proses editing harus mengernyitkan dahi sekenceng kecengnya segala. Nah lho,….. ribet nggak bro!. Tapi itu semua ada seninya lho!...... wakwkwkwkwk..
Kena Somasi,
Suatu waktu, selama seminggu saya harus meninggalkan perusahaan guna mengikuti agenda seminar di luar kota, begitu tiba kembali ke kantor, diatas meja kerja saya didapati sepucuk surat dari pimpinan organisasi buruh dengan tembusan kemana mana, yang pada intinya dia menuding, akibat tulisan yang saya buat telah terjadi keresahan terhadap ribuan kayarawan perusahaan. Untuk itu saya disomasi agar bertanggung jawab. Tentu saya kaget, karena di jaman orba jika terjadi keresahan di perusahaan yang berkatgori vital, maka suka tidak suka urusananya dengan aparat keamanan negara, dalam hal ini Laksus (pelaksana khusus), instansi militer.
Waduh,…. siapa yang nggak merinding bulu kuduknya kalau harus berhubungan dengan laksus, jangankan dipanggil, baru mendengar namanya saja banyak orang yang merasa sudah mati berdiri. Saya terpaksa harus pontang panting kesana kemari dalam rangka klarifikasi untuk persoalan yang menurut saya tidak jelas dengan tudingan tanpa dasar dan fakta. Kala itu memang saya tengah diminta mempersiapkan tulisan guna menengahi ‘perang dingin’ antar dua organisasi karyawan dalam soal bisnis, dimana ada oknum pengurus salah satu organisasi yang mencoba menyisipkan bisnis pribadi melalui jalur organisasinya, padahal jelas bahwa organisasi yang dipimpin sang oknum tersebut tidak berkecimpung dalam ranah komersial. Rupanya si oknum tersebut tidak sependapat dengan rencana saya itu sehingga bermanuver melalui cara fitnah, intimidasi dan mendiskreditkan saya. Untungnya pimpinan perusahaan bertindak bijak, tidak terpengaruh oleh tudingan tanpa dasar itu, bahkan bermaksud menggali informasi lebih dalam dari saya tentang sepak terjang negatif si oknum tersebut.
Persoalan selasai, sang oknum berserta jajaran pengurus lainnya meminta maaf dihadapa pimpinan perusahaan dan menganggap surat yang sudah terlanjur dilayangkan keberbagai fihak itu ditarik kembali atau dinyatakan tidak pernah ada. Padahal jika mau, saya bisa menuntut balik mereka, namun saya tidak melakukannya meskipun banyak teman yang mendorongnya untuk itu. Bagi saya, yang penting sudah ada pengakuan bersalah dan meminta maaf.
Persoalan di kantor selesai, tapi urusan dengan nyonya rumah (baca : istri) belum kelar. Sejak kasus itu muncul, istri di rumah terus uring uringan, saya dilarang ikut ikutan kegiatan tulis menulis apalagi jadi staff redaksi maupun mengurus organisasi ini dan itu, dengan alasan alih alih dapat duit malah ketiban masalah. Setiap saya urek urek, buka buku dan mengeluarkan mesin tik portable kesayangan merek Brother, sang istri selalu mengawasi materi apa yang sedang saya tulis sembari terus nyerocos ngomel ngomel. Untung saja tidak pake acaman sebagaimana sebait lagunya Betharia Sonata yang berjudul Hati Yang Luka : “…….pulangkan saja aku pada ibuku atau ayahku….uuuu….”. … wakwakwkk…
Sebagai suami yang (sok) baik, dengan sabar saya berupaya meluluhkan hatinya dan berjanji akan berupaya mau menulis hal hal yang menghibur, ringan ringan saja, gak berat apalagi mengundang polemik atau kontroversi, salah satu pilihannya adalah yang bernuansakan HUMOR alias Haha-hihi (Kenthir kata Kong Ragile).
Ada yang berpendapat bahwa tulisan humor adalah sampah, hoax, tidak ada nilai edukasinya dan hanya akan menurunkan martabat sang penulis saja, tapi bagi saya TIDAK!. Seburuk buruknya tulisan sebagai hasil olah pikir tentu harus dihargai dan pasti ada nilai tambah, hikmah dan penggemarnya tersendiri. Menulis humor perlu keseriusan, tanpa keseriusan dalam mengolah otak dan memilih diksi yang tepat, pasti tidak akan jadi tulisan, kedatipun ujung ujungnya hanya ditertawakan pembacanya. Tulisan humor bisa diperoleh dari berbagai objek atau aspek, tinggal pintar pintarnya kita saja mengambil sudut bidiknya dari mana. Yang jelas, ide tulisan humor tidak pernah kekeringan bahan, sejauh kita mampu menggalinya. Terkadang kita itu munafik, disatu sisi menilai itu tulisan sampah yang harus dijauhi, akan tetapi disisi lain kitapun merasakan betapa rilek, nikmat dan nyaman saat berhumor-ria.
SUkanya mosting di Kompasiana itu, kita bisa selalu berinterkasi dengan temen-temin K-ers sekalian diseanterio dunia. DUKanya, kalau sudah keranjingan or ketagihan kita jadi lupa diri akan tugas, sampai sampai harus siap adu mulut dengan nyonya rumah….. wakakkkkwkwkwkwkwkkk..
* dari 400 sekian postingan saya 70 % diantaranya berjibaku dalam Humor alias Haha-hihi alias Kenthir.
"Ada banyak obat didalam guyonan, tapi dalam obat tidak banyak guyonan” (Josh Billing).
Terima kasih dan salam Kompasiana.
Purworejo, 23 Januari 2000 16;
- Nur Setiono -
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H