Mohon tunggu...
paulus setiohutomo
paulus setiohutomo Mohon Tunggu... -

lulusan STF Driyarkara, pernah jadi jurnalis di EDITOR, Berita Buana dan sampai sekarang jurnalis freelance dan menulis untuk pihak2 yang meminta jasa penulisan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Berpacu dalam Krisis

2 Februari 2016   14:36 Diperbarui: 2 Februari 2016   14:56 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kita sebagai warga Indonesia dan warga dunia sepertinya hampir 100% sepakat bahwa semua orang dan negara di manapun di dunia ini sedang menghadapi "krisis". Dari segala aspek kehidupan kita sekarang ini sedang berhadapan apa yang disebut "krisis". Memang yang sangat dominan dikenal kita bahwa  "krisis" dimulai dari sektor ekonomi, entah  karena harga minyak dunia yang terjun bebas, sehingga perekonomian melambat  atau karena ada perang dagang antar negara-negara di dunia yang semakin kompetitif terlebih karena terciptanya kesepakatan bebas arus modal dan arus tenaga kerja di area tertentu seperti halnya MEA (Masyarakat Ekonomi Asean) .

"Krisis" pun melanda di dunia di sektor sosial dan politik dimana kita dihadapkan pada musuh bersama dunia yaitu terorisme dan radikalisme yang mengatasnamakan agama dan memporakprandakan rasa aman di semua negara  di dunia ini. Negara-negara di Eropa,  Amerika Serikat, Rusia, Asia , Timur Tengah dan Afrika pun sudah merasakan dampak  kebrutalan bom-bom bunuh diri dari teroris. Belum lagi dampak yang terjadi dari ancaman teroris tersebut adalah eksodusnya ratusan ribu orang dari negara yang porak poranda  untuk mencari keamanan hidup di negara-negara yang dirasa relatif aman dan sejahtera. Dari paparan tersebut sebenarnya kesimpulannya hanya satu. Kita sedang dan akan berada dalam keadaan dan situasi krisis untuk 5 atau bahkan 10 tahun mendatang. 

Disini saya tidak akan membahas soal bagaimana kita cara mengatasi krisis ekonomi, sosial dan politik, tapi sekedar berbagi untuk meletakkan makna dan arti krisis dalam perbandingan dan persepsi budaya. Sebetulnya ide ini didapat hasil dari pencerahan kawan saya Th.Wiryawan  seorang konsultan bank yang sukses dan sudah banyak makan asam garam di perbankan dalam suatu bincang terbatas di sebuah komunitas dan kebetulan saya ikut.  Konsultan yang  pernah sukses berkarir di bank besar seperti BCA, CITIBANK ini mengingatkan kita bahwa krisis memang masih panjang tapi kita harus memaknainya lebih kritis.

Yang menarik dia memaparkan arti kata "krisis" dalam Kamus besar Bahasa Indonesia yaitu : [a] (1) keadaan yg berbahaya (dl menderita sakit); parah sekali; (2) keadaan yg genting; kemelut; (3) keadaan suram (tt ekonomi, moral, dsb); (4) Saat- saat yg menentukan di dl cerita atau drama ketika situasi menjadi berbahaya dan keputusan harus diambil; (5) konfrontasi yg intensif dan dahsyat yg terjadi dl waktu singkat dan merupakan ganti peperangan dl era nuklir. Diungkapkan oleh nya bahwa  betapa dalam budaya Indonesia sendiri kita memaknai krisis benar-benar beraura negatif, suram dan sangat pesimis.

Berbeda dengan arti kata "krisis" dalam bahasa Mandarin yang mengandung 2 arti, yaitu “bahaya” dan “kesempatan”. Ini membuktikan bahwa dalam persepsi dan budaya Mandarin arti kata tersebut tidak semata-mata suram dan negatif tapi ada unsur peluang dan  kesempatan di balik bahaya yang menghadang saat krisis terjadi. Hari-hari ini dunia sedang mengalami berbagai krisis, mulai dari krisis identitas, moral, ekonomi,  tapi mereka memaknai krisis justru di balik kesuraman dan berbagai aura pesimis tetap ada peluang dan kesempatan untuk maju dan memperbaiki diri atau bahkan melakukan terobosan baru.

Sama halnya dengan definisi "krisis" bagi orang yang berpendidikan Barat. Bagi mereka "krisis" adalah situasi yang merupakan titik balik (turning point) yang dapat membuat sesuatu tambah baik atau malah bertambah buruk. Jika dipandang dari kaca mata bisnis suatu krisis akan menimbulkan hal-hal seperti berikut : intensitas permasalahan akan bertambah. masalah akan terus dibawah sorotan publik baik melalui media massa cetak dan elektronik sepanjang hari, maupun  informasi dari mulut ke mulut. 

Krisis sudah tentu akan menganggu kelancaran bisnis sehari-hari. Cepat atau lambat pengaruh krisis dalam bisnis akan merusak sistim kerja dan menggoncangkan perusahaan secara keseluruhan. Akhirnya masalah yang dihadapi disamping membuat perusahaan menjadi panik, juga tidak jarang membuat masyarakat secara masif menjadi panik. dan akhirnya masalah dari krisis ini akan membuat pemerintah ikut melakukan intervensi.

Menurutnya, setiap "krisis" adalah suatu keadaan darurat atau emergency, namun tidak setiap keadaan darurat  adalah suatu krisis. Krisis  tetap bisa ditangani oleh manajemen terhadap krisis. Krisis adalah kondisi tidak stabil, yang bergerak ke arah suatu titik balik, dan menyandang potensi perubahan yang menentukan. Sedangkan keadaan darurat (emergency) adalah kejadian tiba-tiba, yang tidak diharapkan terjadinya dan menuntut penanganan segera.

Steven Fink dalam karyanya yang berjudul Crisis Management – Planning for the inevitable, memaparkan : “A crisis is an unstable time or state of affairs in which a decisive change is impending-either one with the distinct possibility of a highly desirable and extremely positibe outcome, or one with the distinct possibility of a highly undesirable outcome. It is usually a 50-50 proposition, but yoy can improve the odds”.

Krisis memang  suatu kondisi disorganisasi di mana masyarakat menghadapi frustasi dari tujuan-tujuan hidup yang penting atau kekacauan yang amat besar dari siklus hidup mereka dan berusaha mencari metode-metode untuk mengatasi berbagai tekanan. Krisis biasanya mengarah pada perasaan situasi ketakutan, kegoncangan, dan distres terhadap kekacauan, tapi sesungguhnya bukanlah  kekacauan itu sendiri. 

Dari pencerahan makna kata dibalik kata "krisis" oleh kawan saya yang luar biasa tadi, saya dapat menyimpulkan betapa kita semua terkadang sudah terkecoh dengan segala sesuatu yang berhubungan sebab  dan akibat dari sebuah "krisis" . Jujur saja , sebagai orang Indonesia kita lebih memaknai "krisis" seperti yang terpapar dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang begitu suram dan negatif. Mungkin hanya segelintir orang Indonesia yang memaknai "krisis" dalam persepsi budaya Mandarin  dan Barat yang menangkap ada esensi peluang , kesempatan dan hanya sebuah titik balik (turning point).  Kita berharap kita bisa melangkah maju dan siap menghadapi krisis yang memang sedang kita alami sekarang dan mungkin masih berlangsung beberapa tahun mendatang. Who knows? Mari kita berpacu dalam krisis.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun