Mohon tunggu...
Setio Budianto
Setio Budianto Mohon Tunggu... Guru - Saya adalah seorang Praktisi dan Akademisi Pariwisata, juga Guide Berbahasa Inggris. Disamping itu menulis buku fiksi dan non fiksi

Saya menyukai Pariwisata dan kebudayaan, sejarah terutama masa klasik Hindu Buddha. Juga menyukai perjalanan wisata serta topik mengenai lingkungan hidup serta pendidikan.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Waktu yang Misterius

24 Juni 2023   00:00 Diperbarui: 24 Juni 2023   00:02 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Waktu, adalah sesuatu yang aneh. Ganjil. Bagi seseorang yang menganggur, atau bagi seseorang yang sedang berpuasa, ia terasa sangat lambat berjalan. Menit demi menit, detik demi detik terasa begitu panjang. Begitu lama dan menjemukan. Entah mengapa (Mungkin karena nihilnya kegiatan, sehingga waktu didepan terasa begitu panjang dan tak berujung). Atau juga maaf, seseorang yang berada di balik jeruji besi. Bahkan seolah waktu berhenti disana. Waktu, juga terasa menjadi sangat lama bagi seseorang yang menunggu. Entah menunggu seseorang, atau sekedar bus yang lewat (padahal saat benar-benar dikalkulasi, waktu yang tersita tak lebih dari beberapa menit saja). Saat mengurus sesuatu ke layanan publik, entah itu KTP, KK atau SIM hingga rekening bank, kita juga sering merasa waktu di tempat-tempat publik tersebut sangat panjang, dan sangat "menyita" waktu kita. Padahal kenyataanya, tak setiap hari pula kita berkepentingan seperti itu. Fenomena menunggu ini melahirkan jargon "membunuh waktu" dengan berbagai cara : membaca buku, main game, mengobrol dan lain sebagainya.  

Namun lain halnya, saat kita berkesibukan. Bekerja dari pagi hingga sore hari (atau bahkan malam). Waktu seolah berjalan sangat cepat. Di kota-kota besar seperti Jakarta, bahkan waktu berjalan sangat cepat. Para pekerja dan karyawan sibuk mulai dini hari. Di awal pagi, mereka berjalan setengah berlari untuk mengejar kereta atau angkutan umum. Seharian mereka bekerja di perkantoran Jakarta, untuk kemudian kembali berjejal di sore hari saat pulang. Kembali berjalan setengah berlari pula. Wajah anak atau keluarga di rumah, membayang terus selama perjalanan. Demikianlah ritus setiap hari yang terjadi. Ritus ini semakin besar, di pusat-pusat ekonomi dan bisnis dunia seperti Amerika Serikat, Jepang, China dan negara Eropa Barat yang lain. Waktu seolah bergulir sangat cepat. Bahkan di kota-kota seperti New York, Tokyo maupun Shanghai seolah tidak ada kamus waktu melambat. Kota-kota itupun tak pernah tidur. 24 jam selalu terjaga dengan segala hingar-bingarnya.

Dua bentuk waktu diatas adalah sebuah pilihan. Secara umum, orang akan memilih bentuk waktu kedua yang berjalan "cepat". Bahkan bentuk pertama, dianggap sebagai sebuah ketidakmujuran. Sejak kecil mereka terdidik untuk "berbondong-bondong" mengikuti arus waktu yang cepat tersebut. Mendaftar di Taman Kanak-kanak, mengikuti ritus sekolah dari SD hingga SMA dimana  secara kontinyu mereka harus mengikuti aturan untuk berangkat pagi hingga sore hari. Semua terus berlanjut saat mendaftar di perguruan tinggi, berjibaku masuk ke PTN. Selesai kuliah Berjibaku lagi dengan jutaan orang untuk mendapatkan pekerjaan. Mendaftar CPNS, dimana tingkat persaingannya sangat tinggi dan peluang begitu kecil. Begitu pula masuk perusahaan, harus berlomba dengan kompetisi sangat tinggi pula. 

Sementara bagi pilihan waktu "lambat", dianggap sebagai orang yang tersingkir dari kancah persaingan. Sehari-hari beraktivitas tak menentu, dengan hasil yang tak tentu pula. Bahkan golongan pertama kerap diidentikkan dengan kriminalitas, serta vonis-vonis yang belum tentu benar adanya. Benarkah demikian? Mengapa pikiran dan mindset kita begitu terstruktur dan tertata sedemikian rupa? Apakah pilihan waktu lambat dan tak terjun dalam persaingan yang menguras waktu itu suatu kesalahan? Jawabnya tentulah tidak. 

Bahkan manusia membutuhkan setidaknya "berhenti sejenak" dalam kesehariannya atau bahkan dalam hidupnya. Seseorang yang lelah berkendara menuju tempat kerja, memerlukan untuk berhenti sejenak menghela napas. Mengambil air mineral dan meneguknya sesaat. Aneh. Badan menjadi lebih segar dan fokus, setelah sebelumnya begitu terburu-buru. Padahal aktivitas tadi hanya berlangsung selama beberapa menit atau detik. Bagi para Bapak yang mengemudikan mobil dan mengantar keluarga berbelanja misalnya, waktu yang paling favorit adalah saat mereka menunggu di mobil sejenak, untuk sekedar menghela nafas dan meluruskan kaki. Bahkan lebih baik lagi memejamkan mata barang sebentar. Seseorang yang lulus sekolah atau kuliah, sering kita dengar merencanakan suatu "jeda" dalam hidup mereka. Menunggu tahun depan, sementara istirahat adalah ungkapan yang sangat umum dan banyak kita temui. Manusia bukanlah robot, bukan benda mati yang tidak punya cipta, rasa dan karsa. Adakalanya mereka lelah dan ingin berhenti. Fenomena menjamurnya warung kopi atau "angkringan" atau cafe adalah jawaban telak dari ingin berhentinya manusia dari rutinitas yang menjebaknya. Setelah lima atau sepuluh menit kopi atau teh panas, kembali badan menjadi segar. Fenomena merebaknya kegiatan wisata adalah contoh juga, bahwa manusia ingin sejenak membentuk dirinya yang baru atau terlahir kembali. Kata Rekreasi adalah jawabannya. Membentuk kembali jiwa menjadi bugar dan utuh, setelah healing atau berpariwisata. Disini terlihat bahwa unsur jiwa manusia juga memiliki peran yang besar untuk mood dan tingkat kejenuhan. Sebagai contoh lain, disaat mudik Lebaran, para perantau lebih banyak melakukan aktivitas membuang waktu dengan berjalan keliling kampung, bercengkrama dengan tetangga. Satu hal yang tidak pernah lagi dilakukan dalam jangka waktu lama 

Namun disisi lain, pilihan pertama juga menjadi negatif, dan pada ujungnya seseorang akan divonis "banyak membuang waktu". Terlambat membangun karir, terlambat berkeluarga, terlambat memiliki keturunan dan lain sebagainya adalah dampak sosial yang ada jika kita terlalu lama di zona waktu "lambat". Oleh karenanya, sekarang kembali berpulang bagi individu masing-masing. Bagaimana pintarnya kita men setting moda waktu "cepat" atau "lambat". Karena pepatah "waktu ibarat pedang yang akan melukai pemiliknya bila tak bisa memanfaatkan" rasanya hingga hari ini masih relevan. Begitu unik dan misteriusnya waktu dalam kehidupan kita...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun