“Mm…maaf, Pak Kacong melamun?” giliran Johan angkat bicara.
“Mm… pff… eh tidak…” jawab Kacong terbata… Ia agak tersipu, lalu Stefan mendekati.
Semua yang hadir jadi merasa tak enak hati, meski Johan dan Ludwig tidak begitu paham bahasa Indonesia, namun ia dapat melihat ekspresi kesedihan itu. Namun, tiba-tiba Pak Kacong berkata tapi dengan nada yang sama sekali lain.
“Mungkin Pak Kacong bisa menceritakan sedikit tentang tanah kelahiran Bapak…” Stefan memohon. Akhirnya Pak Kacong pun buka mulut.
“Tanah kelahiran yang sangat indah. Banyak kenangan tak terlupakan disana. Teman – teman masa kecil juga orang – orang yang baik di perkebunan. Namun, ada juga kenangan yang menyesakkan. Keluarga kami yang serba kekurangan, hingga akhirnya kami harus mengalah. Tak ada harapan lagi di sana. Tapi itulah hidup, air pun ada pasang surutnya. Disana, di perkebunan penuh cerita untuk saya” urai Kacong menerawang.
Suaranya parau, sementara wajahnya bagai bulan di tutup awan. Tak dapat disangkal, suaranya bergetar. Tapi sebagai laki – laki yang tegar, pantang baginya untuk menunjukkan kesedihan. Stefan segera tanggap dan menepuk – nepuk pundak pria itu…
“Oh, Pak Kacong, maafkan kami. Bukan, bukan maksud kami…” Stefan dan kedua koleganya merasa bersalah.
“Oh tidak. Tak apa, itu memang hal pahit yang dialami keluarga kami…” suara pak Kacong tercekat.
“Maaf Pak… Sepertinya ada orang – orang yang tidak menyenangkan dalam hidup Bapak, terutama di masa lalu…” Stefan yang sedikit lancar berbicara Bahasa Indonesia berusaha mengorek lebih jauh. Sekali waktu ia menoleh ke arah Fitz dan Jo untuk memeperoleh persetujuan. Mereka berdua manggut – manggut dalam diam...
“Betul memang ada. Banyak orang – orang kolot di perkebunan yang anti perubahan, mereka merasa tidak nyaman dengan hal – hal baru yang mengancam eksistensi mereka. Salah satunya seorang pejabat perkebunan yang bernama Broto dan Darpo. Broto memiliki anak bernama Birowo. Sedang Darpo adalah ayah Ipan. Waktu aku kecil, kehidupan sungguh tidak mudah, terutama orang – orang kecil seperti kami. Dimusuhi, ditindas, tak diberi kesempatan sedikitpun… Sehingga akhirnya kami menyerah … Kalah!”
Ada sebentuk bongkah batu besar menghimpit dada Pak Kacong, saat mengucapkan hal itu. Nafasnya begitu panjang dan berat. Sejurus kemudian ia menghela nafas, sebelum melanjutkan. Ketiga tamu hanya terdiam menunggu...