1908 menuju 2023. Telah 100 tahun lebih. Saat para pemuda terpelajar STOVIA (terpelajar berarti orang berada, orang berada berarti Bangsawan dan bukan orang kebanyakan) tergerak hatinya mendirikan Boedi Oetomo. Dimotori oleh seorang dokter yang kebetulan bernama hampir sama, dr Soetomo. Bahu membahu mereka berusaha membangkitkan dan memberdayakan Bumiputera. Meski di awal ini, Boedi Oetomo belum tampak bergerak dalam lapangan politik. Mereka hanya bergerak dibidang kebudayaan dan pengajaran. Namun demikian pemerintah Kolonial membiarkannya, karena saat itu di Barat sedang bergema kuat Politik Etis. Politik balas budi, setelah bertahun-tahun menjalankan sistem tanam paksa (Cultuur Stelsel) yang memorak porandakan sendi ekonomi rakyat. Memang begitulah bergulirnya. Kalangan elite Bumiputera muncul, disaat kritik terhadap praktik kolonial justru disampaikan oleh Bangsa Barat sendiri.Â
Eduard Douwes Dekker dengan nama samaran Multatuli (yang berarti aku sangat menderita) menyentak lewat karyanya Max Havelaar. Bercerita tentang kesulitan hidup petani kecil di Lebak Banten menanggung pajak. Juga Van Deventer dengan Trias Van Deventer yang secara terang-terangan menuntut perbaikan pendidikan, irigasi dan emigrasi bagi Bumiputera. Juga tokoh  lain yang justru gigih menentang tanam paksa, Baron van Hoevel.Â
Politik etis pun bergulir. Suatu kehendak zaman yang tak dapat lagi dibendung, sebagai dorongan dari gerakan Aufklarung di Jerman, Inggris dan Perancis. Yang tentu saja disulut oleh semangat Renaissance dan Revolusi Perancis. Untuk pertamakalinya dalam sejarah, muncul para tokoh terpelajar elite Bumiputera (dr Soetomo, dr Wahidin Soedirohusodo, dr Tjipto Mangunkusumo dan lain-lain) menjadi fajar penerang gerakan perjuangan rakyat. Suatu keputusan yang suka ataupun terpaksa, sangat disesali oleh Pemerintah Kolonial. Para mahasiswa yang mengenyam sistem pendidikan modern Pemerintah, dan suatu saat menjadi api pemantik perjuangan melawan sistem mereka sendiri.Â
Dimana-mana, titik sentralnya adalah Pemuda. Dalam aksi drama sebelum Proklamasi, faktor utama yang bergerak adalah pemuda. Penculikan para tokoh ke Rengasdengklok semua dilakukan pemuda. Â Pertempuran 10 Nopember di Surabaya, Palagan Ambarawa, Bandung Lautan Api, Pertempuran 5 hari Semarang, Â Tritura 1966 hingga Reformasi 1998 semua mencatat pemuda pelopornya. Lalu apa peran kita sebagai pemuda/generasi penerus sekarang ini? ada beberapa poin yang dapat merefleksikan kondisi kita sekarang ini, setelah 115 tahun Kebangkitan Nasional.Â
Pertama. Kita melupakan sendi utama perjuangan pemuda, yakni Nasionalisme. Sejak zaman perjuangan fisik, tercatat bahwa perjuangan dilakukan oleh para pahlawan dengan tulus hati. Ada Cut Nya' Dien, Teuku Umar dari Aceh. Kemudian Kapitan Pattimura dari Maluku, Christina Martha Tiahahu. I Gusti Ktut Jelantik dari Bali dan lain-lain. Perjuangan dilakukan oleh seluruh suku dan agama di Indonesia. Begitu pula saat Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Ada Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Celebes dan lain lain. Tidak ada lagi rasa kesukuan, namun yang ada adalah rasa kebangsaan. Hal ini yang harus selalu kita pupuk. Kita terbukti tidak dapat berdiri sendiri, dan kita harus bersatu sesuai amanat Sumpah Pemuda 1928. Pererat semangat kebangsaan, jangan kedaerahan.Â
Kedua. Perjuangan para tokoh Kebangkitan Nasional sungguh luar biasa. Kita belum melakukan apa-apa. Belum seujung kuku sekalipun. Berasal dari keluarga kaya-raya dan notabene bangsawan sebagai elite Bumiputera, tidak membuat Bung Karno, Bung Hatta, Bung Syahrir dan lain-lain terbuai oleh bujuk rayu penjajah. Bahkan mereka rela dibuang jauh ke daerah yang banyak penyakit Malaria, yaitu Boven Digoel. Mereka dipenjara bertahun-tahun tanpa proses peradilan. Bisa saja mereka memilih jalan aman dan nyaman, tinggal di luar negeri. Menikmati status sebagai intelektual Bumiputera yang akan sangat terjamin kehidupannya. Namun kenyataanya tidaklah demikian. Dapatkah kita, generasi sekarang melakukan seperti apa yang dilakukan pendahulu kita? Hanya kita yang tahu jawabnya. Hanya kita yang bisa merasakan dan mengakui, bahwa tanpa perjuangan mereka, kita semua bukanlah apa-apa.Â
Aufklarung : Pencerahan pemikiran
Renaissance : Abad Kebangkitan EropaÂ
STOVIA : School Tot Opleiding van Indische Artsen /Â Sekolah Dokter Pribumi Hindia Belanda
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H