Mohon tunggu...
Setio Budianto
Setio Budianto Mohon Tunggu... Guru - Saya adalah seorang Praktisi dan Akademisi Pariwisata, juga Guide Berbahasa Inggris. Disamping itu menulis buku fiksi dan non fiksi

Saya menyukai Pariwisata dan kebudayaan, sejarah terutama masa klasik Hindu Buddha. Juga menyukai perjalanan wisata serta topik mengenai lingkungan hidup serta pendidikan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Nabila

20 Mei 2023   06:05 Diperbarui: 20 Mei 2023   06:18 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

                                                                                                                                     “Nabila”

Mentari bersinar redup sore itu, saat aku menutup pintu ruang kerjaku. Para siswa telah pulang, membelah jalanan dengan jeritan sepeda motornya. Lorong-lorong kelas telah lengang. Suasana seperti ini menambah rasa rinduku pada dua bidadari kecilku di rumah. Biasanya mereka menungguiku seharian, berteriak mendengar raungan motorku atau sekedar bersembunyi dibalik daun pintu. Akupun bergegas. Namun tiba-tiba langkahku tertahan. Sesosok gadis mungil berjilbab abu-abu muncul dihadapanku. Dengan kacamatanya yang tebal dan sorot mata kelelahan ia memandangku setengah tertunduk. Aku mengenali betul siapa dirinya. Kelasnya yang berada di lorong terujung, membuatnya selalu melewati ruanganku.

“Nabila…”

“Iy Iy Iyya Pak…”

Selalu begitu. Ia terlihat gugup saat berhadapan dengan siapapun. Aku tertegun. Beribu cara telah aku coba untuk merubah dirinya menjadi lebih berani dan percaya diri. Sebagai Gurunya, tentu aku merasa prihatin. Ah Nabila, mengapa engkau tak bisa seperti teman-temanmu yang lain? Mengapa kau selalu menyendiri, dan seolah tak punya kawan di sekolah ini? Sering aku bergumam dalam hati.

 Sejuta tanya selalu meraja. Keheranan serta bingungku tak pernah akan habis kala berfikir dan membahas Nabila. Dan seperti yang sudah-sudah, semua diakhiri dengan rasa sedihku. Apakah aku telah gagal menjadi seorang pendidik? Untuk membangun kepribadian seorang anak saja aku tak bisa? Sering pula aku merutuki diriku sendiri.

Seandainya saja aku seorang Guru perempuan, dari dulu pasti aku telah bercucuran air mata bila berhadapan dengan dia. Pasti kuijinkan dia bersandar dibahuku, menumpahkan segala beban hidup yang ditanggungnya. Namun aku seorang Guru laki-laki, yang wajib tegar dan menjaga jarak dengan siswiku. Hanya doa yang selalu kupanjatkan menemani malam panjang, agar ia terangkat martabatnya di masa depan.

WISUDA SISWA DUA TAHUN KEMUDIAN….

Suasana wisuda kali ini penuh gegap gempita. Ingar bingar musik dari Home Band sekolah, dibumbui musik gamelan tradisional menambah meriah suasana. Semua cerah, secerah Sang Surya di ufuk timur yang tertawa begitu riang. Bahkan serombongan awan yang biasa datang, enggan pula menampakkan diri.

Acara demi acara wisuda ini terlewati penuh keceriaan. Lusiana, siswa tercantik putri pengusaha besar kota ini berjalan angkuh berkeliling. Seperti biasa, diikuti oleh Judith, Michelle dan Karina. Mereka bintang sekolah yang glamor, populer serta aktivis organisasi serta ekskul. Meskipun sudah menjadi rahasia umum, bahwa kemampuan akademis mereka tidaklah istimewa, bahkan biasa-biasa saja.

Sering kunasehati mereka, agar membaur dengan siapapun. Tidak berkumpul dengan kelompoknya saja. Aku tak ingin ada jurang pemisah antarsiswa, yang akhirnya berujung pada perpecahan.

“Aduh Pak, dengan Nabila? Plis deh Pak. Dia itu…”

“Stop, Lusiana! Aku tidak suka! Jangan mudah menghina dan merendahkan orang lain!”

Tentu itu bukan kali pertama aku menasehati Lusiana dan geng-nya. Namun jawabannya sudah bisa ditebak. Nabila akan semakin dicemooh dan direndahkan.

Dan kini tiba saatnya, pengumuman juara dari Pak Hasan selaku Waka Kesiswaan. Diawali dengan juara Kelas hingga Jurusan. Satu demi satu para siswa dipanggil dari berbagai jurusan, diikuti sorak sorai kebanggan dari teman sekelas. Dan akhirnya saat paling menegangkan tiba. Juara Umum sekolah akan diumumkan, dan ini bukan oleh guru lagi melainkan Kepala Sekolah. Semua mata rapat terpejam, seolah bermunajat doa. Segala kebahagiaan akan mengharu biru siapapun Juara Utama. Sebuah prestise dan kebanggaan yang tak akan bisa diungkap dengan kata-kata.

Pelan Bapak Kepala Sekolah berjalan menuju podium utama. Setelah memotivasi siswa secara umum, selanjutnya dengan mantap Beliau sebut siapa juara utama. Angin dan hembusan udara seolah berhenti. Ingin ikut mendengar apa yang Beliau sampaikan.

“Juara utama, dengan nilai tertinggi di sekolah ini adalah…Nabila!”

Bagai petir menggelegar, semua seolah tersihir tak percaya. Banyak Guru perempuan, terutama yang mengajar Nabila menangis tersedu, tak kuasa menahan keharuan. Aku sendiri berkaca-kaca. Lusiana, Judith, Michelle dan Karina tertunduk lesu. Wajah mereka terbenam di lantai. Sementara Nabila berjalan tenang kearah podium. Senyumnya kulihat cerah, serasi dengan busana Muslimnya yang berwarna kuning gading, simbol kejayaan dan kemenangannya kali ini. Ia telah memukul jatuh Lusiana dan kawan-kawannya dengan caranya sendiri. Nabila, kau telah memainkan peranmu dengan sempurna, dan sangat luar biasa….

Tulungagung, Mei 2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun