“Nabila”
Mentari bersinar redup sore itu, saat aku menutup pintu ruang kerjaku. Para siswa telah pulang, membelah jalanan dengan jeritan sepeda motornya. Lorong-lorong kelas telah lengang. Suasana seperti ini menambah rasa rinduku pada dua bidadari kecilku di rumah. Biasanya mereka menungguiku seharian, berteriak mendengar raungan motorku atau sekedar bersembunyi dibalik daun pintu. Akupun bergegas. Namun tiba-tiba langkahku tertahan. Sesosok gadis mungil berjilbab abu-abu muncul dihadapanku. Dengan kacamatanya yang tebal dan sorot mata kelelahan ia memandangku setengah tertunduk. Aku mengenali betul siapa dirinya. Kelasnya yang berada di lorong terujung, membuatnya selalu melewati ruanganku.
“Nabila…”
“Iy Iy Iyya Pak…”
Selalu begitu. Ia terlihat gugup saat berhadapan dengan siapapun. Aku tertegun. Beribu cara telah aku coba untuk merubah dirinya menjadi lebih berani dan percaya diri. Sebagai Gurunya, tentu aku merasa prihatin. Ah Nabila, mengapa engkau tak bisa seperti teman-temanmu yang lain? Mengapa kau selalu menyendiri, dan seolah tak punya kawan di sekolah ini? Sering aku bergumam dalam hati.
Sejuta tanya selalu meraja. Keheranan serta bingungku tak pernah akan habis kala berfikir dan membahas Nabila. Dan seperti yang sudah-sudah, semua diakhiri dengan rasa sedihku. Apakah aku telah gagal menjadi seorang pendidik? Untuk membangun kepribadian seorang anak saja aku tak bisa? Sering pula aku merutuki diriku sendiri.
Seandainya saja aku seorang Guru perempuan, dari dulu pasti aku telah bercucuran air mata bila berhadapan dengan dia. Pasti kuijinkan dia bersandar dibahuku, menumpahkan segala beban hidup yang ditanggungnya. Namun aku seorang Guru laki-laki, yang wajib tegar dan menjaga jarak dengan siswiku. Hanya doa yang selalu kupanjatkan menemani malam panjang, agar ia terangkat martabatnya di masa depan.
WISUDA SISWA DUA TAHUN KEMUDIAN….
Suasana wisuda kali ini penuh gegap gempita. Ingar bingar musik dari Home Band sekolah, dibumbui musik gamelan tradisional menambah meriah suasana. Semua cerah, secerah Sang Surya di ufuk timur yang tertawa begitu riang. Bahkan serombongan awan yang biasa datang, enggan pula menampakkan diri.
Acara demi acara wisuda ini terlewati penuh keceriaan. Lusiana, siswa tercantik putri pengusaha besar kota ini berjalan angkuh berkeliling. Seperti biasa, diikuti oleh Judith, Michelle dan Karina. Mereka bintang sekolah yang glamor, populer serta aktivis organisasi serta ekskul. Meskipun sudah menjadi rahasia umum, bahwa kemampuan akademis mereka tidaklah istimewa, bahkan biasa-biasa saja.
Sering kunasehati mereka, agar membaur dengan siapapun. Tidak berkumpul dengan kelompoknya saja. Aku tak ingin ada jurang pemisah antarsiswa, yang akhirnya berujung pada perpecahan.